Tahun Baruku Di Jalanan

Pijakkan kaki di dataran terjal tahun 1991 dari tempatmu masing-masing, juga aku dari tempatku sendiri, tempat yang maaf — kupilih sendiri.

Apa doa yang engkau pilih? Aku mohon semoga tak keluar dari mulut Saddam Hussein, kecuali, “Merdekakan Palestina!” Semoga Israel di-uwasuh oleh Tuhan, meskipun mereka masih akan memperoleh kebangkitan sekali lagi sebelum hancur untuk terakhir kali. Aku mohon supaya Indonesia mulai menemukan akal sehatnya, semoga proses anti pembodohan dibantu oleh para Malaikat, semoga demokratisasi tidak terlalu takhayul, semoga handai tolan Urip Sumoharjo ditemani keramahan zaman, semoga para pemimpin Islam selamat dari atmosfer shumumbukmun, serta semoga semua manusia dan kelompok-kelompok manusia dibimbing menemukan kebenaran yang sejati dalam ilallah yang sesungguh-sungguhnya.

Gusti Allah, kami makhluk yang Engkau istimewakan, namun yang kami himpun adalah kebodohan. Tak sanggup kami temukan laa ilaaha ketika berada di pasar, di kantor, di toko-toko, di bioskop, di mana saja, sehingga ilallah kami pun kacau-balau. Gusti Allah, sampai hari ini belum kami masuki surah Al-Ikhlas-Mu dalam kehidupan sehari-hari, dalam politik, dalam kebudayaan, hukum, ekonomi, dan nurani. Kami ini manusia pra-Ibrahim.

Dengan hati berdebar kumasuki 1991, tahun furqan, tahun dikotomi, tahun polarisasi ekstrem antara kegelapan dan cahaya.

Telah kami daki bukit “9” dari segala nilai terburuk bagi rekayasa peradaban. Dan karena itu tampak pula oleh hati kecil kami bukit “9” berikutnya yang merupakan antitesis. Telah tampak oleh setiap “mata sejati” segala yang terbaik dan terburuk dalam wujud-wujud perilaku munafik kami, syubhat program pembangunan kami amat kongkret di sekitar kami, adalah perancuan dua “9” itu. Maka, perkenankanlah kami mulai “1” kembali: wudlu aqidah, pembaruan sikap, transformasi strategi, langkah-langkah baru.

Perkenankanlah aku memasuki “dunia puisi” (telah bertemu dengan Mu-kah rahasia puisi Quran di balik setiap hurufnya?). Sebab, buat sementara puisilah penjaga kejujuranku, objektivitasku, keadilanku, kejernihan, dan kesejahteraanku.

Sudah lama Rabiah melambai-lambaikan tangannya kepadaku, dan kujawab, “Sebentar, aku masih harus menukangi Lautan Jilbab dan Keluarga Sakinah untuk umat-Mu yang butuh harga diri!” Sudah lama Rumi menggoda-goda lagu kangen jiwa terdalamku, namun kujawab, “tunggu dulu”, aku masih harus berkeliling-keliling menemani umat yang kurang disantuni umara maupun ulamanya! Sudah lama Kahlil Gibran, yang menjelang akhir hayatnya menyunggi Quran di ubun-ubunnya namun tak pernah diberitahukan orang kepada kita, berkata, “Untuk apa kau memprimordialkan diri untuk umat yang belum tentu sungguh-sungguh menerimamu? Untuk apa hampir engkau tumpahkan seluruh tahun-tahun hidupmu, tenaga, dan pikiranmu. Engkau sisihkan karier dan hak kehidupan pribadimu untuk umat yang tanpa kepemimpinan dan engkau tak mampu mengubah keadaan itu, untuk orang-orang yang manis di depanmu tapi bisa menikam punggung dari belakangmu?” Aku jawab, “Tenanglah, Tuhan Mahadalang, tersenyum dan tertawalah meskipun rahasia sirullahdalam dirimu tak dipahami orang sehingga engkau difitnah dan dikutuk-kutuk….”

Kini kuikuti kaki lelah Rasulullah dan tubuhnya yang terluka dan berdarah sepulang dari Taif. Kini kuucapkan doa sebagaimana puisi syahadat kembali yang beliau lantunkan. Rasulullah menangis di antara salat-salat malamnya, “Mengapa aku hanya bisa sesekali belaka menangis kepada-Mu, ya Allah? Aku cemburu kepada rohani Muhammad Idolaku!”

Kepada kaum muslimin, aku mohon pamit untuk sementara waktu. Selama 15 tahun Engkau pekerjakan aku di “beranda” dan “halaman” masjid. Umat berjubel di situ, membutuhkan peran penyantunan, peran kecendekiaan, peran kesenimanan, peran kekiaian, peran ketabiban sosial, peran sahabat kemanusiaan. Telah kucoba melakukan hal-hal yang sesungguhnya mungkin aku kurang mampu, yang sesungguhnya merupakan kewajiban formal para pemimpin yang berada di “kedalaman masjid”. Aku hanya orang kecil dan lemah, yang pundakku tak berkah menyangga kewajiban makro organisasi tablig, proyek pencerdasan umat, antisipasi atas proses dahsyat pemurtadan, apalagi silaturahmi penumbuhan yang membutuhkan kohesi strategis dalam skala makro nasional. Aku hanya orang kecil dan lemah, yang segala pemenuhan amanahku terbentur dinding masjid. Segala aspirasiku, pemikiranku, filosofi, dan usulan strategiku, hasil ngasak Quranku sebagai “mufasir liar” atau “kiai comotan”, tidak cukup bermutu untuk bisa diterima di “kedalaman masjid”, dari Muhammadiyah, NU, ICMI, Dewan Dakwah, MUI, dan lain-lain. Yang kujumpai tak lain adalah kekecilan dan kelemahanku. Semua yang engkau minta dariku dan yang aku salurkan dari Allah kepadamu tidak pernah cukup terkait dengan strategi organisasional makro kepemimpinan umat ini. Sehingga, kini setiap suku kata dari mulutku dan setiap gerak langkah kaki sangat bergantung pada ada tidaknya keterkaitan itu. Tidak lagi bisa dengan gampang kuberikan hanya untuk romantisme sporadis parsial, hanya untuk ombak kecil yang justru segera disapu oleh gelombang besar yang membanjir dari “kedalaman masjid”. Kepada saudara-saudara seiman di “beranda” dan “halaman” masjid, akan kuberikan diriku secara tunai jika jaminan darimu pun tunai dan menyeluruh. Aku telah berbicara dengan ratusan kelompok dan ratusan panitia, dan aku menyimpulkan kita masih receh sehingga kini kulemparkan diriku ke jalanan, ke luar pagar halaman masjid untuk menyusun karya bagi anak cucu kelak.

Kuletakkan diriku di jalanan sesak, tempat puisi-puisi tidak berkostum, sebab tubuhnya telah dipenuhi cahaya nuraninya sendiri. Jalanan sesak oleh sahabat-sahabatmu yang engkau remehkan, yang engkau najiskan, yang engkau kafirkan, yang tidak fasih mengucapkan ayat, yang engkau sebut “abangan”, namun tak bisa engkau jamin bahwa kualitas iman mereka lebih rendah daripada kemantapan dan pameran imanmu dalam formalisme-formalisme.

Engkau tak akan bisa membeli sikapku ini dengan uang berapa pun, dengan air mata atau backing ayat-ayat yang nanti kusediakan diriku untuk berdebat denganmu tentang ayat-ayat itu. Mungkin kita akan saling merasa kehilangan, dan jika kita ingin mengusir rasa kehilangan itu, mari kita selenggarakan perjanjian tunai. Perjanjian tunai antara kita semua penghuni “beranda” dan “halaman” masjid untuk berkata sesuatu, berbuat, menggugat, menuntut, dan mengontrol mereka yang memimpin kita dari “kedalaman masjid”. Atau, barangkali kita sama sekali tidak akan merasa kehilangan sehingga terbuktilah bahwa secara realistis pergiku ke jalanan kembali ini tak salah adanya.

30 Desember 1990

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.