Riduan Mukti dan Peluang Bebas

Tajuk Rencana

Ada adagium yang sangat terkenal dalam hukum pidana yaitu, “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang benar”. Adagium ini mensyaratkan bahwa ketika satu orang benar atau tidak bersalah dijatuhi hukuman, maka runtuhlah hukum itu. Menghukum orang yang tidak bersalah adalah suatu kejahatan paling dikutuk dan tidak dapat dibenarkan sama sekali.

Didalam hukum pidana unsur utama adalah unsur kesalahan, karena itu ada asas dalam hukum pidana yang menyebutkan, tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld), atau meminjam istilah lain yang dikemukakan oleh Nurul Huda dengan istilah tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan.

Berlatar belakang dari itu semua ada hal yang menarik yang sedang dinanti nanti oleh masyarakat Provinsi Bengkulu, yaitu pembacaan putusan hakim terhadap Gubernur Bengkulu non aktif Riduan Mukti yang akan di gelar pada awal tahun 2018 mendatang, tentunya akan menjadi pertanyaan apakah Riduan Mukti nantinya akan di jatuhi hukuman atau sebaliknya di bebaskan oleh majelis Hakim karena tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan jaksa penuntut umum.

Jika kita melihat kebelakang kronologi operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 20 juni 2017, bahwa KPK tidak lansung menangkap Riduan Mukti, namun terlebih dahulu menangkap Rico Dian Sari, kemudian KPK kembali menuju rumah Riduan Mukti bertemu dengan Lily Martiani dan menemukan uang 1 (satu) milyar yang sebelumnya disimpan didalam brankas yang kemudian Riko Dian Sari dan Lily Martiani di bawa ke Polda Bengkulu, dalam waktu yang bersamaan KPK juga mengamankan Jhoni Wijaya disebuah Hotel pada saat digeledah, ditemukan kembali uang sebesar Rp 260 juta di dalam tas ransel. Jhoni Wijaya, lalu diboyong ke Polda Bengkulu untuk diperiksa. Berlanjut Riduan Mukti yang sudah berada di kantornya lalu mendatangi Polda Bengkulu pukul 11.00 WIB. Kemudian KPK membawa ke Jakarta untuk diperiksa intensif. Setelah melakukan pemeriksaan intensif, KPK menaikkan kasus ini ke penyidikan dan menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka di antaranya Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan isterinya Lily Madarati Martiani serta dua orang pengusaha Rico Diansari dan Jhoni Wijaya.

Dalam hal tersangka tertangkap tangan, sesuai Pasal 1 angka 19 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi : “Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”. Pengertian tangkap tangan dimaksud adalah peristiwa seketika terjadi atau handed; bukan peristiwa yang telah lama diketahui aparat penegak hukum dan kemudian dilakukan penangkapan/penahanan.

Dari pengertian tertangkap tangan tersebut bisa saja menjadi perdebatan nantinya apakah Riduan Mukti tertangkap tangan ataukah ditangkap yang harus memperlihatkan surat tugas dan surat penangkapan, tanpa memperdebatkan OTT yang dilakukan KPK tersebut kita mencoba melihat perjalanan kasus tersebut secara objektif.

Setelah Ridwan Mukti dan isterinya Lily Madarati Madari serta Rico Diansari dan Jhoni Wijaya di tetapkan tersangka pada 2 agustus 2017 , keempatnya menjalankan rekontruksi dugaan suap yang diselengarakan tertutup oleh KPK, kemuadian pada 5 september 2017 digelar sidang Perdana tersangka Jhoni Wijaya, kemudian pada 12 Oktober giliran Riduan mukti beserta isteri menjalani sidang perdana dan didakwa dengan pasal 12 huruf a dan pasal 11 Undang undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jucto pasal 55 ayat 1 KUHP usai sidang perdana Riduan Mukti beserta Isteri pengadilan juga menggelar sidang perdana untuk terdakwa Riko Dian Sari. 

Selama proses persidangan terkait dengan OTT terhadap Gubernur Bengkulu non aktif Riduan Mukti ada beberapa hal menarik yang dapat dirangkum diantaranya: 

1. Ada 3 (tiga) nama baru

Sekurangnya sepanjang persidangan yang terkait dengan OTT terhadap Riduan Mukti ada 3 (tiga) nama baru yang disebut sebut terlibat suap dan gratifikasi didalam fakta persidangan diantaranya Syafriandi Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) kota Bengkulu, Kutandi mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Bengkulu, dan Syarifudin Firman mantan Kabid Bina Marga.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Bengkulu Syafriandi disebut pernah menerima uang sebanyak Rp 1,5 miliar dari PT. Rico Putra Selatan (RPS). Uang tersebut diberikan sebagai fee atas proyek yang dimenangkan PT. RPS di Kota Bengkulu. Hal itu terungkap dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi atas terdakwa Jhoni Wijaya di Pengadilan Tipikor Bengkulu pada Selasa (19/9). Staf administrasi PT. RPS Haris Taufan Tura saat menjadi saksi mengungkapkan uang Rp 1,5 miliar tersebut diberikan kepada Syafriandi atas perintah Direktur Utama PT. RPS Rico Diansari. Uang itu diberikan secara dua tahap, yaitu pertama pada 28 Juni 2016 dan 23 Mei 2017. Pemberian pertama pada 28 Juni 2016 berjumlah Rp 500 juta. Uang itu diberikan melalui Kabid Bina Marga Dinas PUPR Kota Bengkulu. “Pak Syafriandi memerintahkan Kabid Bina Marganya kekantor kami untuk mengambil uang itu. Jadi bukan saya yang mengantarkannya ke pak Syafriandi,” Pemberian kedua yaitu pada 23 Juni 2017, kata Haris, sebesar Rp 1 miliar diserahkan Haris melalui ajudan Syafriandi. “Iya memang uang itu saya serahkan melalui ajudannya pak Syafriandi. Kalau menyerahkan langsung ke pak Syafriandi saya tidak pernah,” ujar Haris.

Mantan Kepala Dinas PUPR Kuntadi bersama Kepala Bidang Bina Marga Syaifudin Firman, dituding menerima fee sebesar Rp 1,5 miliar dari Jhoni Wijaya. Pelaksana Tugas Kepala Dinas PUPR Oktaviano yang duduk sebagai saksi bersama Kuntadi, Syaifudin Firman, Kepala Biro Pembangunan Taufik Adun, dan Ahmad Irfansyah, salah seorang kontraktor pemenang tender proyek pembangunan jalan, mengungkapkan bahwa Kuntadi dan Syafrudi menerima uang tersebut berdasarkan pengakuan Jhoni Wijaya. Pengakuan mengejutkan itu dilontarkan Oktaviano saat anggota majelis hakim Gabriel Sialagan menanyakan soal pertemuan pada 12 Juni 2017 saat Jhoni menghadap dirinya di kantor Dinas PUPR Provinsi Bengkulu. “Ada yang mesti disiapkan Pak? Sebentar lagi lebaran. Kalau Pak Kun sama Pak Undin sudah Rp 1,5 miliar setelah uang muka pekerjaan sudah cair,” ujar Oktaviano menirukan penjelasan Jhoni dalam sidang, Kamis, 26 Oktober 2017. Menurut Oktaviano, dia tidak mengetahui secara jelas maksud Jhoni mengutarakan pemberian uang kepada Kuntadi dan Syaifudin tersebut, termasuk untuk apa uang itu diberikan. Namun, Oktaviano mengatakan, bisa saja itu upaya Jhoni untuk membujuknya agar mau menerima fee proyek tersebut. Bukan kali ini saja Kuntadi dan Syaifudin Firman disebut menerima uang dari kontraktor. Pada sidang sebelumnya, terungkap bahwa Kuntadi dan Syaifudin Firman juga disebut menerima uang sebesar Rp 600 juta dari Ahmad Irfansyah. Hal itu berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terdakwa Rico Dian Sari.

2. KPK sebut tersangka baru

JPU KPK Haerudin mengatakan, dari fakta hukum yang terbuka dalam sidang dengan agenda pemeriksaan para saksi, ternyata aliran dana dari terdakwa pemberi suap Jhoni Wijaya tidak hanya diterima satu pihak saja. Beberapa pihak lain juga diduga kuat menerima aliran dana fee proyek dengan total pekerjaan yang dibiayai APBD Provinsi Bengkulu hingga Rp 54 miliar tersebut. “Kami sedang mendalami fakta itu dan kemungkinan tersangka baru itu sangat terbuka,” ucap Haerudin di Bengkulu, Kamis, 2 November 2017 Tim penyidik KPK saat ini sedang menyelidiki untuk memenuhi kecukupan alat bukti terkait fakta persidangan yang menyebutkan beberapa pihak ikut menerima aliran dana suap fee proyek paket pembangunan jalan di Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Lebong oleh pemenang tender PT Swastika Mitra Sarana. Paket pekerjaan pembangunan jalan itu terdiri dari pembangunan jalan Curup menuju Air Dingin dengan anggaran sebesar Rp 16,8 miliar dan paket pembangunan jalan Desa Tes menuju Muara Aman dengan anggaran sebesar Rp 37 miliar.

Menurut Haerudin, beberapa PNS itu bahkan sudah mengakui menerima aliran dalan dari Jhoni Wijaya selaku kepala perwakilan PT Swastika Mitra Sarana cabang Bengkulu. Beberapa orang di antaranya sudah mengembalikan uang tersebut melalui tim penyidik KPK dengan nilai uang puluhan juta rupiah. “Mereka kita hadirkan di persidangan pekan depan dan akan membuka semuanya,” kata Haerudin.

3. Ramai ramai Cabut Keterangan

Kuntadi saat menjadi saksi dalam persidangan yang mendudukan terdakwa Gubernur Bengkulu non aktif Ridwan Mukti dan istrinya Lily Martiani Maddari, serta Rico Diansari alias Rico Chan di Pengadilan Tipikor Bengkulu Kamis (26/10) menyatakan mencabut beberapa poin dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dirinya sewaktu diperiksa penyidik KPK. Salah satu poin dalam BAP yang dicabut Kuntadi tersebut adalah pernyataannya mengenai adanya fee sebesar 20 persen yang diminta oleh Ridwan Mukti kepada kontraktor. Kuntadi menyatakan hal tersebut bukan fakta melainkan pendapatnya sendiri.

Selain Kuntadi, saksi mantan Kabid Bina Marga PUPR Provinsi Bengkulu Syaifudin Firman dalam persidangan juga menyatakan mencabut beberapa poin dalam BAP. Hal itu karena dia mengganggap poin tersebut adalah pendapatnya sendiri dan bukan fakta.

Terdakwa pemberi suap terhadap Gubernur Bengkulu non aktif Ridwan Mukti, Jhoni Wijaya menyatakan mencabut salah satu poin dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) waktu diperiksa oleh penyidik KPK. Alasan pencabutan BAP itu karena pada saat diperiksa oleh penyidik KPK, Jhoni merasa diarahkan oleh penyidik, sehingga keterangan yang tertuang dalam BAP adalah pendapatnya sendiri bukan fakta. Pencabutan BAP itu disampaikannya Kamis (2/11). Poin BAP nomor 17 yang dicabut oleh Jhoni Wijaya adalah mengenai Direktur Utama PT. Statika Mitrasarana (SMS) Suhinto Sadikin yang disebut mengetahui uang sejumlah Rp. 1 miliar yang diberikan kepada Rico Chan merupakan komitmen fee 10 persen yang sudah disepakati.

Selain fakta-fakta menarik tersebut tentunya publik pun masih bertanya tanya apakah nanti Gubernur Bengkulu non aktif akan terbukti melakukan tindak pidana sebagaiman yang didakwakan oleh jaksa penuntu umum ataukah sebaliknya justeru Hakim akan membebaskan beliau dari semua dakwaan penuntut umum, namun apapun itu nanti dalam keputusannya Hakim tetap harus mengemukakan berbagai pertimbangan hukum. dari pertimbangan hukum nanti Hakim akan menarik fakta-fakta dalam proses persidangan yang merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti. Fakta-fakta yang dihadirkan, berorientasi dari lokasi, waktu kejadian, dan modus operansi tentang bagaimana tindak pidana itu dilakukan.

Pertimbangan hakim dalam putusan harus mengetahui aspek teoritik, pandangan doktrin, yurisprudensi dan posisi kasus yang ditangani, selanjutnya di pertimbangkan hal hal yang memberatkan dan meringankan.

Sebuah proses persidangan yang adil dan mungkin dapat menjadi iktibar bagi kita semua yaitu terjadi sekitar 14 abad silam yaitu Sayyidina Ali seorang Amirul Mukminin dan seorang yahudi pernah berpekara terkait kepemilikan sebuah baju perang pada saat itu Qadhi Syuraih bertindak sebagai hakim yang mengadili perkara, didalam persidangan Sayyidina Ali mengadukan seorang Yahudi yang telah mencuri baju perang miliknya, lalu Yahudi tersebut membantah, dan minta di hadirkan bukti yang jelas.

Qadhi Syuraih meminta Sayyidina Ali membukti bahwa baju perang yang di sengketakan tersebut benar miliknya, lalu Sayyidina Ali berkata baju itu merupakan pemberian Rasulullah saw. Qadhi Syuraih kemudian meminta dua saksi kepada Sayyidina Ali, kemudian Sayyidina Ali mendatangkan saksi yaitu : pertama, adalah pekerjaku, dan saksi kedua adalah anakku Hasan, namun kesaksian mereka berdua tidak diterima oleh Qadhi Syuraih.

Kemudian Sayyidina Ali bertanya kepada Qadhi Syuraih apakah cucu Rasulullah saw seorang penipu dan tidak dapat dipercaya? Sama sekali tidak wahai Amiril mukminin, namun Hasan adalah anakmu, dan seorang anak tidak boleh menjadi saksi bagi ayahnya dan juga pekerjamu itu juga tidak sah kesaksiannya, karena ia bekerja denganmu dan sudah termasuk dari bagianmu Kata Qadhi Syuraih menjelaskan. Lalu Sayyidina Ali berkata Sekarang aku sudah tidak memiliki saksi lagi yang dapat membuktikan bahwa baju perang ini adalah milikku. Kemudian Qadhi Syuraih memutuuskan: “Demi menjunjung tinggi keadilan, jadi baju perang ini adalah milik si Yahudi.”

Dari peristiwa berabad-abad tersebut jelas hakim harus berada di tengah-tengah, selain itu harus memiliki ilmu yang cukup dan mandiri seorang hakim harus memiliki integritas dalam melaksanakan tugasnya. Penguatan integritas dan kejujuran harus terus menerus dilaksanakan, kepercayaan publik tidak hanya cukup diraih tetapi harus tetap dijaga.

Tajuk Rencana Redaksi, dikutip dari berbagai sumber

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.