Doa Hujan

Oleh M. Bisri Mustofa

– Aku adalah sebutir air yang bukan berasal dari derita. Bukan juga dari menyesap senyum para wanita bahagia. Atau embun pagi nan suci yang bertengger pada selembar daun. Aku tak sesuci itu kawan.

Aku selalu jadi pangkal derita meski asalku jauh dari kata cita. Setiap kali aku jatuh, kesunyian selalu menyisipi hadirku. Para perempuan yang lemah sayu, meraung lirih mengultuskan namaku. Terkadang sisa cerita harus rela kubawa untuk kembali lusa.

“Terimakasih kau telah hadir membawa lukaku hanyut. Kuharap kau senantiasa hadir dalam kesepianku,” pinta yang selalu kuhapal dari para perempuan patah hati.

Yang paling sakit adalah ketika aku datang setelah sekian lama menunggu, segelintir manusia mencaciku, menyumpah serapah sampai tak tau arah. Mereka jadi korban ego ketika segala pertimbangan tersudut dalam ruang waktu. Padahal, aku hanya jatuh antara dilema.

“Aish.., Aku kan belum selesai. Kenapa kau datang!”

“Dasar, sial! Coba saja tidak begini, aku pasti sudah selesai sejak tadi.”

“Aduh. Pekerjaanku jadi terhambat,”

“Kan, basah. Sial.”

Ya, kata-kata tersebut seolah melupakan kedatanganku yang berarti mengobati rasa kufur. Ada keberkahan yang tak mereka tahu. Coba bayangkan jika aku tidak pernah hadir di tengah-tengah mereka.

Dedaunan bakal kusam, tunas-tunas mengering, hijau padi bakal tumbang, para katak akan murung, dan yang paling sukar adalah, siapa yang menggantikanku menggusur gusarnya para pemurung. Siapa?

Andai kau tau rasanya jadi hujan yang tak selalu ditunggu adalah menyakitkan, pasti kau bakal memilah jadi butiran embun.

Sudah hampir 3 pekan aku tidak turun dari sini, di kediaman yang makin lama makin membuatku tak nyaman. Ada banyak panggilan yang terdengar sayup-sayup antara atmosfer dan ruang hampa, sehingga membuatku jatuh rindu pada sang Juwita. Wanita pemurung yang selalu kuusah pipinya itu, seperti memanggilku tanpa henti.

Pagi sebelum fajar tiba, siang di terik mentari, bahkan kala senja yang memancarkan kedamaian, tak lebih seperti saat menungguku. Juwita selalu menantiku seperti kala ia kehilangan kekasihnya. Kekasih yang selalu menanamkan luka pada setiap bait kisah kasihnya. Sampai kini, akulah yang selalu dinanti.

Namun rasa enggan yang terpancar dalam diri perempuan malang itu, tidak pernah tau bahwa ada ribuan orang menolak kehadiranku, dan berharap tiada hujan selamanya.

Selama bumi tak merindui damaiku, dan desau bayu tak riang menyapaku, biarlah aku tetap di sini bersama sedikit kemunafikkan, bahwa harap dari nama Juwita, hanyalah sebatas doa yang terlontar dari mulut hawa.

Hampir lupa, aku tidak memiliki sepertiga malammu. Seperti dalam tafsir doa yang diperuntukkan pada lelakimu dahulu.

“Tuhan. Hadirkan ia di setiap mimpiku.” Ujarmu dengan kaku. Selama bertahun-tahun kau doakan yang terbaik untuknya, sampai engkau lupa bahwa kau adalah penyelang waktu luang.

Sekarang tinggal kenangan yang kau sisakan pada setetes hujan sepertiku. Esok apalagi?

Tuhan memaksaku untuk turun menyapamu. Kata-kata yang senantiasa kau bingkai dalam doa, sesaat membuatku kian larat menolaknya. Jadi, sekarang bagaimana jika kau merasakan doa-doa yang selalu kau haturkan pada Tuhanmu, terjatuh dan berai bersama lekat butirku?

Maaf, Juwita. Bukan berarti aku menolakmu berucap harap. Hanya saja air matamu terlalu berharga. Tak seperti diriku. Dan jika kau sematkan tangismu dalam doa, apalah dayaku menolak harga dari sebuah iba. Artinya, kau menyamakan air matamu sama dengan bulir hadirku.

Brrrrresssssshh….

Aku begitu suka ketika saling bersinggungan dengan para daun yang mulai layu dan kering. Mereka menyambutku dengan sangat bahagia. Para ikan di tepian danau terlihat mengap-mengap seolah mengucap kasih dan raut syukur pada Ilah. Katak berkakak, menari-nari di atas lembar talas sambil berayun-ayun.

Lepas sudah penatku menatapmu, Juwita. Ternyata, ada ribuan mikrobia yang selalu menanti kehadiranku.

Ah, terimaksih Tuhan. Kau telah menetapkanku sebagai penghapus luka. Pun demikian, aku harap semua perempuan di muka bumi jadi lebih tabah, para lelaki tidak lupa kemana arah, dan alam semesta  menyambut sukur tanpa sukar.

***

24 November 18

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.