Senja di Pulau Gusdur

 Oleh Hilmi Abedillah

Alkisah, tergenang di tengah samudera sebuah pulau yang amat damai. Nyiur-nyiur berdiri menjulur ke langit melambai. Awan dan hujan kebahagiaan berarak seperti dua mempelai. Ombak yang lirih di tepinya mengelus halus bibir pantai. Muka-muka manis bertabur senyum tanpa seringai. Jantung berdegup pun terdengar iramanya di tengah tarian berjuntai.

Masih seperti apa yang diwariskan oleh nenek moyangnya, Tumba tetap membuat ritual di pulau terpencil itu. Ritual pemadaman api kejahatan dengan menyulut api unggun di tengah gelapnya malam. Kemudian para penduduk bersama-sama memadamkan api itu sebagai simbol terusirnya arwah jahat dan jiwa yang khianat. Sebagai pemimpin wilayah Barat, Tumba memimpin doa di dekat kobaran api yang masih menyala-nyala.

Di pulau itu, api adalah kesombongan yang terus meluap-luap mencari tempat yang tinggi, menjauhi tanah dimana ia dilahirkan. Namun, kesombongan api tidak akan sampai ke puncak langit, karena ia terlanjur menjadi asap hitam yang menyebar lalu menghilang. Tidak ada ia ingin menjadi air yang selalu mencari tempat terendah walau melalui celah-celah.

Di akhir doanya, Tumba berkata, “Kami hamba yang lahir dari air mani yang hina, hidup membawa kotoran yang cela, dan mati menjadi bangkai yang nista. Adakah Engkau untuk melenyapkan segala keangkuhan dari dalam diri, dan melimpahkan kebesaran hati untuk saling berbagi?”

Kemudian gerimis turun dan dingin serentak menyelimuti lingkaran warga. Semua menangkupkan kedua telapak tangan dengan dua tujuan, mengurangi hawa dingin dan berdoa. Walaupun berasal dari suku yang berbeda-beda, doa mengalir bersama-sama dari mulut-mulut yang tak ternoda. “Kami semua hidup rukun seperti setangkai batang yang lebat daunnya.”

Pagi harinya, mereka saling bertemu kembali di dalam kesibukan masing-masing. Semua orang melempar senyum kepada sesamanya. Ada yang menanam pohon, ada yang mencuci pakaian di sungai, ada yang mandi di bawah air terjun, ada pula yang membuat permainan panah-panahan.

Tiba-tiba ada sebuah hati yang gelisah. Hati itu benar-benar bertanya, “Apakah ini akan kekal abadi?” Hati itu tak lain hati Tumba sendiri, pemilik tanah Barat pulau itu. “Bukankah kau telah percaya, bahwa tidak ada daki di dalam hati orang-orang sini?” tegur seseorang.

“Hati itu tersembunyi. Hati orang siapa tahu?”

Cerahnya pagi itu memaksa orang-orang untuk giat bekerja. Kesejukan yang terpancar dari batang-batang pohon memberikan energi tersendiri. Cahaya matahari keluar hangat seperti senter yang tak terhitung jumlah banyaknya. Hari pagi ialah hari yang paling damai untuk mereka semua.

Di wilayah Timur, Murba memimpin sebagaimana yang nenek moyang katakan. Api tetaplah simbol keangkuhan. Namun, Murba dan kaumnya berbeda dengan orang Barat dalam memahami itu. Orang Barat beragama Rohani, orang Timur beragama Rohalus. Barat dan Timur terpisahkan oleh sungai kecil yang membelah pulau itu.

“Tidak ada api, dan tidak akan pernah ada api,” ujar Murba. Kecuali api-api kecil yang digunakan untuk memasak.

Seperti di belahan yang lain, orang-orang di sini tidak pernah berbuat onar dan kemarahan. Mereka adalah orang yang ramah-ramah. Bertamu dan mengetuk pintu dengan sangat lembut, hingga sang pemilik rumah yang sedang bekerja di belakang tidak mendengar. Senyum sopan saling sapa mengakar kuat menjadi budaya setempat.

Anak-anak menghormati orang tua, dan orang tua menyayangi anak-anak. Banyak sekali kutipan kata nenek moyang yang terpahat di dinding gua, dan sebagian yang lain habis di papan-papan kayu yang menua. Dari situlah orang-orang belajar memaknai hidup dari para pendahulu. Apakah berterima kasih dan meminta maaf itu perlu, ataukah tidak perlu. Karena keduanya sebentar akan berlalu.

“Berterima kasihlah untuk hal kecil. Meminta maaflah untuk hal sepele. Sungguh seekor kuman bisa saja membunuh seorang raja yang telah berkuasa berabad-abad.”

Tentu Murba yang seorang pemimpin juga harus berterima kasih atas seteguk air minum yang diberikan oleh seorang putranya yang masih bocah, walaupun air itu bisa diambilnya sendiri di sungai yang mengalir di pinggir kediamannya.

Suatu kali, orang-orang berteriak-teriak. Membangunkan Murba yang sedang beristirahat. Ada apa? “Ada seseorang yang mencelakai nenek moyang.” Orang-orang itu melihat asap mengepul di atas pulau itu. Murba segera bangkit dan mencari tahu asal-usul asap itu dari mana datangnya. Ia mengira tidak ada orang selain Murba yang memimpin.

Akhirnya, diutuslah sekelompok orang untuk pergi ke bagian Barat pulau. Memastikan penyebab asap yang mengganggu ketenangan jiwa penduduk itu. Tidak ada alat penyeberangan. Sungai tak bisa dilompati. Beberapa pemuda berenang menuju seberang. Mungkin sekitar enam orang.

Setelah menelusuri jalan bersemak, enam pemuda itu menemukan pemukiman dengan di tengahnya kayu-kayu besar yang telah terbakar. Mereka bertanya siapa yang memperbuat semua ini, dengan nada marah-marah. “Kami tak akan marah bila hati kami disinggung, tapi kami akan marah bila nenek moyang kami dilukai.”

Tumba keluar dari balik tirai, dan menyambut mereka berenam dengan lapang hati. “Adakah yang mengusikmu siang ini, Tuan?” tanya Tumba.

“Pemimpin kami mengutus kami untuk memadamkan api itu,” kata salah satu dari mereka.

Tumba mengira kalau tidak ada pemimpin selain dirinya. “Bukankah api itu telah padam?”

“Namun kayu-kayu itu membuktikan kalau kalian telah membuat api yang besar. Lihatlah, asapnya mengotori langit pulau ini. Kalian sebaiknya berhenti memainkannya.”

“Itu adalah ritual kebesaran. Bagaimana mungkin kau mencegahnya? Kau telah menyalahi ajaran nenek moyang,” elaknya.

“Bukankah yang menyalahi nenek moyang adalah kau? Pergilah dari sini!”

Satu dari mereka berenam ditahan, sementara yang lain dibiarkan Tumba kembali ke daerah asal. Mereka melapor kepada Murba tentang kejadian ini. Mendengar hal itu, Murba marah besar, lalu seluruh penduduk dikerahkan untuk menyerang wilayah Barat.

“Ini menyangkut kebesaran nenek moyang kita. Kita harus mempertahankan kata-kata yang terukir jelas pahatannya. Ini adalah pulau damai. Jangan biarkan sekelompok orang merusak kedamaian itu.” Murba menggerakkan massanya dengan cepat.

“Bukankah kita sebaiknya berunding dulu?” usul Tumba.

Tumba dan Murba bertemu laksana sepasang keadilan yang saling berebut. Mulut-mulut berserabut mengatasnamakan nenek moyang masing-masing. Apakah nenek moyang mereka sama? Mungkin tak ada yang bisa menjawabnya, selain dinding-dinding gua, aliran sungai, dan pohon yang menjulang yang telah berumur ribuan tahun. Tumba dan Murba pun tak tahu siapa yang disebut-sebut nenek moyang itu. Apalagi mereka telah lama mati.

Bukankah Noah? Bukankah Adam? Atau adakah manusia yang lebih tua lagi?

Dan jika itu ada, mungkin ia tak tinggal di pulau terpencil ini. “Kau telah menghina nenek moyang kami, dan sekarang kau menjelek-jelekkan tanah leluhur kami?” kata Murba.

“Hari hampir senja, aku benar-benar sudah tidak sabar dengan perundingan yang tak berujung ini. Menghormati leluhurmu sama saja dengan mencela leluhur kami. Sekarang kita tentukan di mana kita akan berperang,” ucap Tumba mengakhiri perundingan.

“Di perbatasan. Aku harap pendudukmu siap untuk mati sia-sia.”

Matahari yang tadinya kuning kini telah menjadi jingga. Terlihat siluet camar pulang dari melaut. Sebentar-sebentar mentari tertutupi awan-awan kemelut. Sungai yang tadinya jernih, kini tidak lagi. Satu per satu ikan mengambang mati. Teracuni.

Semua orang telah berbaris berhadap-hadapan. Berseberangan. Seolah sungai perbatasan itu adalah wasitnya. Masing-masing telah menggenggam senjatanya. Berharap hari ini bisa berburu nyawa. Murba berteriak. Tumba menyalak.

Matahari yang tadinya jingga kini telah menjadi merah. Lalu meneteskan darah dari balik gunung. Suara-suara bergaung. Tombak mulai dilempar ke arah lawan. Dan tiba-tiba, dari depan, sebuah panah menusuk ulu hati kawan. Murba berteriak. Tumba menyalak.

Semua orang menunggu, apakah matahari yang merah itu pada akhirnya akan menjadi hitam. Namun sekian lama menunggu, matahari itu tetap saja merah. Merah yang marah. Tidak ada damai lagi, tidak ada sapa lagi. Barangsiapa menyeberangi sungai, ia akan mati.

Tiba-tiba, sebuah perahu mainan terbawa arus sungai. Mengalir begitu cepat menuju muara. Semua mata tertuju padanya.

Di atas perahu itu, terputar sebuah kotak musik. Kotak musik yang masih bernyanyi lirih: Di atas kedamaian masih ada kedamaian. Manusia dari tanah yang sama walaupun berbeda warna. Manusia dari udara yang sama sekalipun berlainan bahasa. Bukankah kita saudara?

Perang berhenti sejenak. Semua mata mengarah ke hulu, mencari tahu siapa yang melayarkan perahu mainan itu. Oh, seorang anak kecil dekil berkacamata. Sarung di pundaknya tersampir, dan pecinya sedikit miring. Anak itu berkata, “Lantas, apakah kita biarkan senja menjadi malam yang kelam, ataukah kita kembalikan menjadi pagi yang terang benderang?”

***

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.