Juhi

Untuk orang sepertinya yang tidak memiliki teman dekat yang dapat diajak bicara, bermain layang-layang adalah salah satu hal terbaik yang bisa dilakukan.

Layang-layang berbentuk kupu-kupu yang terbuat dari kain khusus dan berwarna-warni itu terbang mengikuti arah angin pantai. Liuknya lebih indah dari para penari Jaipongan yang sering tampil dalam upacara daerah atau dalam rangka penyambutan sebuah acara. Belakangan lebih sering terlihat dari satu panggung ke panggung.

Ekor panjangnya seolah membelah langit senja itu, di mana orang-orang lebih asyik mengobrol berdua atau bersama rekan sejawatnya di bawah naungan atap langit maha megah dibandingkan menikmati keindahan itu sendiri.

Berbeda dengan orang lainnya, Juhi, seorang pemuda tanggung yang terpaksa putus sekolah di kelas delapan itu lebih memilih menikmati uluran benang senar yang dipegangnya tidak cukup kencang. Sesekali, ia mengubah posisinya di bibir pantai, dan mulai menjauhinya, menuju ke batu-batuan yang disusun sedemikian rupa sebagai alternatif agar air laut tidak naik sampai ke jalan saat pasang tiba.

Ia lebih suka melihat layang-layang yang akhirnya bisa diterbangkannya lagi berada di atas udara. Meliuk, menari dengan indahnya bersama burung camar yang bersiap untuk pulang ke rumahnya di cabang tertinggi pohon cemara. Ia lebih suka melihat batas langit, titik terjauh laut dan langit yang tak bisa dilihat lebih jauh oleh mata sipitnya.

Untuk orang sepertinya yang tidak memiliki teman dekat yang dapat diajak bicara, bermain layang-layang adalah salah satu hal terbaik yang bisa dilakukan. Ia ingat, di tempat tinggalnya yang dulu, jangankan bermain layangan, sekadar bermain ke luar rumah saja sudah dimarahi habis-habisan.

Wajar saja memang. Sebab, tanah subur yang dulunya ditanami padi dan sayuran itu kini telah berubah menjadi lautan hitam dengan di beberapa bagian terdapat lubang-lubang menganga. Sawah-sawah yang dulu digarap ayah ibunya telah menjadi area datar, yang jika dilihat dari manapun warnanya tetap saja pekat. Sepekat hatinya yang berat untuk meninggalkan tanah kelahiran.

Lapangan luas tempat bermain layang-layang bersama kawan sebaya yang sekarang tinggal nama itu pun sama pekatnya dengan sawah dan tempat lainnya di sepanjang perbatasan kampung.

Saat itu, ia hanya bisa bersedih atas nasib yang menimpa warga kampung Sentosa yang nyatanya kehidupan mereka jauh dari kata sentosa. Satu persatu teman sebayanya ditemukan tewas di beberapa tempat penggalian tambang.

Beberapa lainnya terjebak di daerah dengan kadar oksigen yang rendah. Beruntung saat itu ia selalu menuruti perkataan orang tuanya walau harus dibilang cemen oleh teman-temannya. Namun, sekarang ia merasa menyesal karena dulu tidak bisa mencegah teman-temannya untuk tidak bermain di daerah tambang. Sekarang ia sendiri. Menanggung derita sepi tak berkesudahan.

“Juhi, kau main layangan lagi? Tak bosankah?”

Sapaan akrab dari pemuda berambut keriting yang mengenakan kaus oblong dan celana pendek di atas lutut itu hanya ditanggapi dengan senyuman. Ia tahu betul, pertanyaan berulang-ulang dari kawan karibnya—sesama perantau—itu tak butuh jawaban. Tanpa harus susah payah menjelaskan pun, pemuda yang akrab disapa Oyok itu pasti sudah tahu.

“Kau masih merasa bersalah rupanya. Sudahlah, Juh. Yang lalu biarkan aja. Toh, itu bukan salahmu. Tapi salah pemilik PT yang mengaku berusaha mensejahterakan kehidupan. Faktanya mereka malah semakin menyusahkan.”

“Tetap saja, perasaan itu masih ada, Yok. Eh, kau dari mana?” Juhi menatap kantong kresek yang dibawa Oyok.

Pemuda yang ditanya mengangkat tinggi kresek yang dipegangnya di tangan kiri. “Makan malam. Pak Sadam itu yang ngasih. Lumayan, kita jadi tidak perlu buang uang untuk sesuap nasi malam ini.”

Juhi menggeleng kecil. “Kau saja yang makan. Aku biarlah masak mi instan. Walau tidak sehat, setidaknya aku tidak makan dari orang-orang yang membunuh orang lain secara kejam seperti itu.”

“Sudahlah, Juh. Itu takdir. Ayo, turunkan layang-layangmu, kita pulang. Makan.”

“Tidak. Pergilah,” kata Juhi, ia kembali asyik dengan layang-layangnya yang merajai langit senja itu. Sambil sesekali bergumam kecil menyebut nama satu-persatu kawannya yang telah tiada. Seiring ingatan masa lalu menari-nari di kepala.

Tanah subur, hutan lebat, sawah berpetak-petak dengan eloknya, udara sejuk, angin pantai yang tidak terasa panas seperti sekarang, juga celoteh riang rekan sejawat yang mengajak bermain layang-layang.

“Semoga damai di sana.”

***

Bumi Rafflesia, 9 Mei 2019

Ayu Lestari, Komunitas Menulis Bengkulu

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.