Munang

Oleh Yetti A.KA.

Apa Nenek pernah ingin menjadi munang?

Tubuh Nenek tidak setegap tahun-tahun lalu. Matanya hampir tak bisa melihat dan itu menyulitkannya berjalan. Kakinya bengkok dan kosong dan menyisakan kulit cokelat tua yang melorot mirip bahan karet. Kalau berjalan, ia bergerak seperti robot; mengentak-ngentakkan kaki tiap kali ia melangkah. Karena itukah banyak orang takut menjadi tua?

Dari tepi sungai, dari tempat dulu aku berendam dan tak jarang ikut melompat dari dinding tebing ke lubuk dalam, masuk ke pusaran air, terseret arus ke dalam ceruk napal, dan menyembul dengan lubang hidung perih, aku memperhatikan pohon munang tua yang berdiri di pinggiran tanah pekuburan yang dibiarkan bersemak. Berbeda dengan  nenekku, munang itu terlihat sebagai pohon tua yang makin kokoh dan barangkali memiliki akar-akar besar yang menancap kuat di bawah tanah dan tak satu kekuatan pun mampu merobohkannya. Apa Nenek pernah ingin menjadi munang? tanyaku dulu ketika kami berdua memunguti buah munang yang bersembunyi di sela-sela rumput teki. Waktu itu pikiran polosku mengira semua makhluk bebas memilih mau menukar dirinya dengan apa saja. Dan aku tentu saja sempat berpikir ingin menjadi seekor ikan karena aku suka sekali berendam lama-lama di sungai sampai mataku merah dan bibirku menjadi biru-gelap.

Apa enaknya menjadi pohon? Nenekku berkata.

Aku terkikik karena tak tahu menjadi pohon itu enak atau tidak—lagi pula aku memang tak pernah memikirkannya. Yang kutahu, meski tidak bisa pergi ke mana-mana dan malam hari hanya mendengar suara suram burung hantu atau jangkrik yang hidup di kuburan, tapi munang itu terus mengeluarkan buah yang melimpah seolah hatinya selalu bahagia.

Apa Nenek percaya kalau pohon munang bahagia?

Nenekku terdiam. Pasti saja bukan karena ia menganggap pertanyaanku sesuatu yang aneh mengingat nenekku seorang pendongeng yang kerap menceritakan hal-hal lebih ajaib dari itu: manusia yang jadi burung;  manusia mati yang hidup kembali dengan kaki terbalik; pintu langit yang terbuka dan menurunkan tangga amat panjang; enam binatang yang bersaudara dengan seorang manusia. Dongeng-dongeng yang sering dikisahkannya menjelang tidur dan aku mendengarnya sambil memijiti betisnya yang lembek.

Tidak, Hatis, mana mungkin pohon yang tumbuh di tepi kuburan bisa bahagia. Ia pasti bersedih terus-menerus.

Mendengar kata-kata Nenek, aku merasa haru. Sepanjang hidup pohon munang menghirup udara bau orang mati. Apakah rasanya?

Bagaimana jika aku menjadi pohon munang, Nek? ujarku melupakan mimpiku ingin menjadi seekor ikan.

Nenek memasukkan segenggam buah munang ke kantong plastik di tanganku, kalau kau ingin menjadi pohon munang, kau tak bisa lagi makan kue talam buatanku, ancamnya bergetar.

Tapi aku bisa makan tulang-tulang bayi, ujarku.

Husss! Nenekku langsung berseru. Ia sering mengingatkanku agar tidak bicara sembarangan di dekat kuburan. Roh-roh yang berkeliaran bisa mendengar kita, bisik nenekku suatu kali.

Tentang tulang bayi itu, aku tidak mengada-ada. Aku tahu banyak bayi yang dikubur di bawah pohon munang itu. Kuburan tanpa penanda dari batu sebab mereka bayi-bayi yang belum terlalu lama hidup dan tidak begitu memakan ruang kenangan dan tak menunggu lama telah dilupakan.

Jika aku mati sekarang apa aku akan mudah dilupakan, Nek?

Kau tidak akan mati muda.

Kenapa?

Karena pohon munang hanya makan tulang bayi dan tidak suka tulang-tulangmu, Nenek menjawil hidungku gemas seolah ingin menghentikan aku bicara.

Aku cemberut hingga kami pulang dan dalam perjalanan kudengar Nenek berkata pelan: Panjang umurlah, Hatis, saat tua aku hanya ingin bersamamu.

***

Kemarin, aku sampai di kampung ini. Di rumah panggung, aku menemukan nenekku duduk di beranda. Rambutnya putih semua. Tulang pipinya menonjol dan di bawahnya ada cekungan yang dalam. Ia memandangiku dengan mata kecilnya yang terus-menerus berair. Aku menyebut namaku. Lebih kencang, ujar bibiku dan aku mengulangi sekali lagi. Ia menggerakkan tangannya. Sudah lama sekali ia cuma diam sepanjang waktu, kata bibiku. Tangannya menggapai-gapai di udara hingga menemukan ujung hidungku. Ia berhenti sejenak. Lalu disusurinya seluruh wajahku dengan kedua telapak tangannya yang dingin, seakan ingin memastikan ingatannya tentang garis, lekukan,  sepasang makhluk yang selalu basah, dua binatang berbulu, dan lainnya.

Hatis? suaranya parau.

Ini apa namanya, Hatis?

Makhluk yang selalu basah.

Ini mulut, Hatis. Kalau ini?

Ulat bulu, Nek.

Itu alismu, Hatis.

Aku memang senang mempermainkan nenekku—dan ia suka meladeniku. Aku bukan cucu yang paling dibanggakannya—hampir setiap waktu ia membicarakan sepupu tertuaku yang lulus jadi tentara—tapi aku yang paling sering bersamanya, mengikuti ke mana pun ia pergi. Setelah masuk sekolah, aku tidak sabar menunggu kelas ditutup karena aku tahu Nenek telah menantiku di rumah dan kami akan pergi ke ladang atau ikut rombongan mencari ikan yang bersembunyi di bawah batu-batu di sepanjang tepi sungai atau kami cukup duduk di tepi lapangan, menunggu jemuran padi sambil mengumpulkan buah munang.

Ya, Nek, ini Hatis, dadaku rasanya meledak.

Ia menciumi pipiku, meninggalkan jejak basah air ludah. Berkali-kali ia menyebut namaku. Lalu aku melihat air meluap di mata kecilnya yang nyaris tertimbun tumpukan kelopak mata. Air yang kemudian mengalir perlahan ke pipinya yang keriput dan penuh bintik hitam.

Apa Nenek nanti akan tua?

Semua orang akan jadi tua.

Tapi Nenek tidak boleh tua.

***

Munang itu masih berdiri di sana. Apa nenekku akan tetap ada di dunia ini seperti pohon munang itu—menjadi pohon abadi karena roh bayi-bayi yang suci melindunginya dan waktu tak sanggup menyentuhnya?

Aku menggigit bibirku sampai nyeri. Nenekku tentu bukan pohon munang. Ia tidak suka tulang bayi. Ia tidak akan hidup abadi. Bahkan sebenarnya nenekku sudah tak ada lagi. Yang kutemui di rumah itu, perempuan yang tak lagi memiliki kantong ingatan tempat ia meletakkan apa-apa yang berharga dalam hidupnya. Perempuan yang bertanya berkali-kali, kau siapa? Dan berkali-kali pula aku menjawab, Hatis, Nek, ini Hatis.

Aku mendengar suara anak-anak di belakangku. Mereka datang dari hulu dengan cara menghanyutkan diri di tepian. Tak kutemukan anak-anak yang berani berenang di tengah atau memanjati dinding napal, melompat, lalu diputar-putar arus yang mengempas ke lekukan tebing bagian bawah. Anak-anak bermata merah dan berkulit gelap kehijauan karena terlalu lama berendam. Anak-anak yang menjelajahi hutan di pulau-pulau yang dibentuk oleh sungai demi mendapatkan apa saja yang bisa dimakan. Aku memutar badanku. Mencari pulau yang pernah kujelajahi dulu. Tak ada. Tak ada lagi hutan kecil di pulau itu. Semua hanya batu-batu yang seluruhnya tampak putih bila dilihat dari jauh.

Saat kau kembali nanti mungkin semua sudah tak ada lagi.

Sekarang aku sudah besar, Nek, aku bisa kembali semudah aku pergi hari ini. Aku tak akan kehilangan apa-apa.

Jangan berjanji, Hatis. Jangan.

Seorang anak berteriak, diikuti anak-anak lain. Mereka menunjuk titik-titik hitam yang melintas di bawah langit. Titik yang makin lama, makin menjadi kumpulan besar. Musim keluang bermigrasi. Itu menandakan musim buah sudah datang. Namun, masih adakah batang-batang pohon buah hutan itu? Tahun-tahun belakangan ini, banyak hutan hilang dan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dalam skala besar. Itu terjadi di tahun-tahun yang sama ketika nenekku perlahan kehilangan kekuatan ingatan dan tubuhnya. Tahun-tahun aku tak bersamanya lagi, bukan karena aku tak punya waktu, tapi segala seperti mengikat kakiku di tempat lain.

Kenapa jangan?

Kota tak akan pernah membiarkanmu kembali ke sini.

Tapi ada Nenek yang akan memaksaku kembali.

Tidak, Hatis, nanti aku tak akan sanggup melakukannya lagi.

Benar saja. Keluang-keluang itu hanya melintas. Meninggalkan suara ribut yang sesaat kemudian diterbangkan angin tanpa sisa. Aku barangkali seperti keluang itu. Datang hanya sekadar untuk melintas, bukan karena tak ada lagi tempat bagiku di sini, melainkan hatiku telah menjadi pengkhianat atas tubuhku. Aku yang tak lagi merasa ingin ada di sini.  Aku yang merasa asing dengan segala yang dulu milikku.

***

Masih pagi sekali ketika aku kembali berjalan ke arah sungai. Semalaman aku tidak bisa tidur. Aku memikirkan semuanya. Nenek tidur pulas setelah aku memijiti betisnya dan ia mencoba memberiku dongeng yang tak mampu ia selesaikan karena napasnya lelah. Aku sudah mendengar semua dongeng Nenek, bujukku agar ia tidak perlu lagi membalas pijitanku dengan dongeng-dongeng seperti dulu. Nenek tersenyum. Senyum indah yang belum pernah kulihat darinya selama ini. Tak lama, ia benar-benar tertidur dan sepanjang malam aku memandangi wajahnya yang tampak sangat cantik. Nenek menjadi bidadari dengan selimut kain motif burung. Aku tahu sejak lama nenekku ingin pergi ke mana-mana. Berkali-kali, ia bilang ingin ikut ke mana pun aku pergi.

Suara sungai terdengar jelas—dan tentu pula mistis—pada pagi hari. Dari jauh, aku sudah melihat pohon munang, berdiri tegak seperti biasa. Namun, aku menghentikan langkahku saat kusadari daun-daunnya menghitam dan terdengar suara binatang sangat ramai. Aku terdiam. Mataku kubuka lebar-lebar. Rombongan keluang hinggap di pohon munang. Keluang tidak makan buah munang, lalu untuk apa mereka ada di sana?

***

Tiga hari, ratusan keluang bertahan di ranting-ranting pohon munang. Selama itu pula,  suara riuhnya menyemarakkan kuburan yang biasanya sunyi. Sore ini, keluang-keluang itu beterbangan, berputar-putar sejenak, lalu berbalik ke arah pertama kali mereka datang, meninggalkan pohon munang yang sudah gundul. Semua daunnya rontok dan busuk dan membuatku sangat sedih.

Hatis! Seseorang memangggilku dari kerumunan orang-orang yang melihat kepergian rombongan keluang.

Aku menoleh. Nenek berdiri dengan sayap kain motif burung yang ia sangkutkan di leher dan dua ujungnya jatuh di punggung. Ia benar-benar menjelma bidadari dan wajahnya memerah serupa pipi gadis muda. (*)

GP, 2016

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.