Samsara

Dengan cepat kulepaskan pegangan tangan dan berlari menjauh darinya. Sam gila. Dia psikopat penganut Samsara—kelahiran kembali setelah membunuh orang.

“Silakan, Sayang,” ucap Sam dengan senyum paling manis yang pernah kulihat.

Aku mengangguk dan keluar dari mobil hitam metalik miliknya. Di depanku kini berdiri sebuah bangunan bertingkat cukup mewah. Sam menggandeng selagi aku masih memandang keindahan sekitar. Tampak asri meski di tengah kota. Tak mau menunggu Sam marah, segera aku berjalan beriringan menuju flat yang berada di lantai dua. Sampai di dalam bangunan, aku cukup terkejut. Tidak ada lift layaknya bangunan bertingkat. Hanya ada tangga yang menjadi penghubung antara lantai satu dan lainnya.

Sekitar tiga menit berjalan, Sam berhenti di depan pintu dengan tulisan “Samsara”. Lagi-lagi aku dibuat terkejut dengan gambar di bawah tulisan itu. Sebuah gambar manusia yang seolah keluar dari manusia lainnya. Aku ingin bertanya, tetapi Sam sudah tersenyum dan menyuruh masuk. Isi dalam flat Sam sangat luas untuk ukuran seorang mahasiswa yang tinggal sendiri. Sebuah sofa panjang berwarna merah menghias ruang tamu, di seberang ruang tamu ada bar dengan aneka macam jenis minuman, di sampingnya berdiri dapur mini dengan dinding berwarna merah yang terkesan aneh. Di sudut sebelah kanan terlihat sebuah pintu merah darah bertuliskan “Samsara”. Aku yakin itu kamar Sam.

“Duduklah, Sayang. Aku akan bersiap dulu.”
Ucapan Sam menyudahi penjelajahanku. Aku tersenyum dan duduk di sofa merah tanpa curiga sedikit pun dengan kalimat yang diucapkannya.

***

Hampir lima belas menit Sam tak kembali dari kamar yang dimasukinya tadi. Bukan kamar bertuliskan Samsara. Aku tentu tahu jika dia masuk ke dalam sana, sebab aku berdiri di depan bar sambil menatap lama pada lukisan abstrak yang menempel di dinding. Perasaan cemas menghantui, karena takut terjadi apa-apa, aku memutuskan untuk menyusulnya.

Sebuah pintu yang tak terlihat seperti pintu itu kugeser perlahan. Aku tahu, Sam tadi ke sini. Gelap. Tak ada pencahayaan sedikit pun. Cemas, kupanggil nama Sam berulang-ulang. Tak ada jawaban, hanya gema suaraku yang memenuhi ruangan.

Cklekkk.

Ruangan yang tadinya gelap kini begitu terang. Aku tersenyum, tetapi seketika senyumku hilang saat melihat Sam berdiri dengan sebuah pisau panjang berlumuran darah. Kemeja merah yang dipakainya tampak basah. Seringai terlihat dari wajah pucatnya yang kini merah akibat darah di sekitar mulut. Kulihat ke sekeliling ruangan, ada sebuah ranjang dengan seseorang gadis di atasnya. Wajahnya sudah tak kukenali, tetapi melihat pakaian yang masih menempel di tubuh itu, aku bisa menebak bahwa itu Suci—gadis yang hilang seminggu lalu—teman kampusku.

“Harusnya kamu tidak masuk ke ruangan ini, Sayang,” lirih Sam sembari mendekat ke arahku. Diacung-acungkannya pisau berlumuran darah itu, dan sekali tebas, pisau itu mengenai leherku. Perih. Darah mengalir dengan deras. Nadiku putus, napasku turun naik ….

“Sayang kamu kenapa? Hei, ayo, katanya mau ke rumahku.”

Suara Sam membuatku tersentak. Napasku kembali naik turun ketika bertemu pandang dengannya yang sedang tersenyum … mengerikan. Aku menggeleng. Tidak. Aku tidak ingin mati. Dengan cepat kulepaskan pegangan tangan dan berlari menjauh darinya. Sam gila. Dia psikopat penganut Samsara—kelahiran kembali setelah membunuh orang.

***

Bengkulu, 06 Mei 2019
Ayu Lestari, Komunitas Menulis Bengkulu

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.