Hati-hati Doa Orang Terzalimi

Doa merupakan senjata ampuh yang digunakan seorang muslim untuk meraih kebaikan atau menolak madharat dengan izin Allah SWT. Seorang muslim hendaknya senantiasa berhubungan dengan Rabb-nya dalam kondisi lapang, sempit, senang, susah, mudah, dan sulit, dalam semua keadaan senantiasa berdoa memohon perindungan dan pertolongan Allah.

Orang yang dizalimi kehormatan, harta, jiwa, agama, atau salah satu hak dari hak-haknya adalah salah satu golongan yang doanya tidak ditolak.

Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

اِتَّقُوْا دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهَا تُصْعَدُ إِليَ السَّمَاءِ كَأَنَّهَا شَرَارَةٌ

“Waspadailah doa orang yang dizalimi, sebab ia akan diangkat naik ke langit seakan-akan bagai percikan bunga api.” (Hadits shahih).

Dalam hadits lain yang dari Anas bin Malik dan diriwayatkan Ahmad disebutkan bahwa tidak ada penghalang doa orang yang terdzlimi untuk diterima Allah. Ini merupakan sebuah bentuk peringatan bagi orang-orang yang zalim dan para pendukung kezaliman. Karena doa-doa mereka mustajab dan akan dikabulkan Allah dalam sekejab.

Doa orang yang terdzalimi

Tentang kisah Abu Ma ‘liq ra, diceritakan bahwa dahulu ia adalah seorang pedagang yang berniaga dengan hartanya. Dia adalah seorang yang ahli ibadah dan wara‘. Suatu saat ia keluar berdagang kemudian bertemu seorang perampok bertopeng dan membawa senjata.

“Letakkan barang-barangmu, sebab aku akan membunuhmu!” perintah si perampok.

“Ambilah hartaku!,” jawabnya.

“Aku hanya menghendaki darahmu,” lanjut si perampok.

“Beri kesempatan aku untuk shalat,” pintanya.

Si perampok pun berkata, “Shalatlah seperlumu.”

Lalu ia pun berwudhu dan shalat.

Dalam sujud terakhir pada rekaat keempat, ia berdoa:

يَا وَدُوْدَ يَا ذَا الْعَرْشِ الْمَجِيْدُ يَا فَعَّالاَ لِّمَا يُرِيْدُ أَسْأَلُكَ بِعِزَّتِكَ الَّتِيْ لاَ تُرَامُ وَبِمُلْكِكَ الَّذِيْ لاَ يُضَامُ وَبِنُوْرِكَ الَّذِيْ مَلَأَ أَرْكَانَ عَرْشِكَ أَنْ تَكْفِيْنِيْ شَرَّ هَذَا اللِّصَّ ياَ مُغِيْثُ أَغِثْنِيْ

“Wahai Zat Yang dicintai, wahai Pemilik Arsy yang Maha Terpuji, wahai Yang Mahakuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya, aku memohon-Mu dengan kemuliaan-Mu yang tak tertandingi, dengan kekuasaan-Mu yang takkan dizalimi, dan dengan cahaya-Mu yang memenuhi rukun-rukun Arsy-Mu, agar Engkau menyelamatkanku dari kejahatan perampok ini. Wahai Yang Maha Memberi pertolongan, tolonglah aku!” , ia membacanya tiga kali.

Tiba-tiba muncul penunggang kuda dari sampingnya dengan membawa tombak pendek yang ditenteng di antara kedua telinga kuda, lalu ia menikam si perampok dan membunuhnya. Ia kemudian mendekati Abu Ma‘liq.

“Siapa engkau wahai orang yang Allah telah menolongku dengan perantaanmu?” tanya Abu Ma‘liq.
Orang itu menjawab, “Aku adalah salah satu malaikat dari malaikat-malaikat langit keempat. Ketika engkau berdoa dengan doa pertama, aku mendengar suara gemuruh pintu-pintu langit—yakni terbuka untuk menyambut doamu. Ketika engkau berdoa dengan doa kedua, aku mendengar suara gaduh penduduk langit—yakni mereka mengamini doamu. Ketika engkau berdoa dengan doa ketiga, ada yang berkata, ’Ini doa orang yang sedang dalam kesulitan.’ Lalu, aku pun memohon kepada Allah agar memberi kuasa kepadaku untuk membunuh si perampok’.”

Al-Hasan berkata, “Siapa yang berwudhu kemudian shalat empat rekaat dan berdoa dengan doa di atas, maka Allah akan mengabulkan doa tersebut, baik ia sedang dalam kesulitan maupun tidak dalam kesulitan.”.

Dikabulkanya Doa Imam Ahmad bin hambal

Pada masa Al-Ma‘mun bin Harun Ar-Rasyid, merebak sebuah fitnah besar yang menimbulkan malapetaka, sehingga mayoritas manusia terfitnah olehnya. Tidak ada yang bisa bersikap teguh, kecuali pemilik keikhlasan dan kejujuran, yang telah menadzarkan kehidupan mereka untuk Allah SWT semata. Mereka hidup demi negeri akhirat dan zuhud di dunia.

Pada tahun 218 Hijriyah, Al-Ma‘mun menulis surat kepada seorang wakilnya di Baghdad agar menguji para hakim dan ahli hadits dengan perkataan, “Bahwa Al-Qur‘an adalah makhluk,” dan agar sekelompok dari mereka di kirimkan kepadanya.

Padahal, yang benar Al-Qur‘an Al-Karim adalah kalamullah (firman Allah), dari-Nyalah ia muncul dan kepada-Nyalah ia akan kembali. Ia bukan makhluk, tapi ia adalah sesuatu yang diturunkan dan dituliskan. Inilah yang telah ditetapkan dalam Al-Qur‘an ataupun As-Sunnah, dan disepakati oleh Ahlu Sunnah wal Jamaah.

Namun, Al-Ma‘mun telah terpengaruh oleh ucapan orang-orang Mu‘tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur‘an adalah makhluk. Khalifah menghendaki agar seluruh manusia mengambil perkataan ini, untuk memenangkan pendapatnya dan memuliakan madzhab para pengikutnya.

Khalifah pun memberikan perintah untuk menguji para ulama tersebut satu per satu. Maka, bergoncanglah akidah kebanyakan manusia di hadapan fitnah ini, kecuali dua imam saja, yakni Ahmad bin hambal dan Muhammad bin Nuh–rahimahumallahu ta‘ala.

Ketika Al-Ma‘mun mengetahui penyelisihan mereka berdua, ia memerintahkan agar membawa dua orang tersebut kepadanya, yang saat itu ada di Thursus, dari Baghdad dalam keadaan terikat. Dua orang tersebut kemudian diikat dan dinaikkan di atas punggung onta dalam dua karung yang dikirim dari Baghdad menuju khalifah.

Kedua imam tersebut menyerahkan urusan mereka kepada Allah. Mereka mengetahui bahwa ini merupakan fitnah yang menuntut adanya keteguhan dalam menghadapinya, agar kelak ketika mereka menjumpai Rabb-nya, Dia telah ridha terhadap mereka. Selain itu, juga untuk meneguhkan manusia di atas manhaj yang benar.

Ketika telah meninggalkan Baghdad, Imam Ahmad menadahkan kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa kami berdua berangkat menuju Al-Ma‘mun, dan kami tidak menginginkan sesuatu selain kebenaran. Ya Allah, janganlah Engkau pertemukan kami dengannya, dan berilah keputusan antara kami dan dia. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Keduanya berjalan dalam keadaan percaya terhadap pertolongan Allah dan terkabulkannya doanya. Di tengah-tengah perjalanan, sampailah kabar bahwa Al-Ma‘mun telah mati akibat penyakitnya. Allah tidak mempertemukan keduanya dengan Al-Ma‘mun. Keduanya tidak berbicara kepadanya dan Al-Makmun pun tidak berbicara kepada keduanya. Allah telah melindungi keduanya dari kejelekannya hingga keduanya dikembalikan lagi ke Baghdad.

Sebagian manusia meminta Imam Ahmad untuk menyamarkan ucapannya dan menampakkan sesuatu yang berbeda dari apa yang tersembunyi dengan cara tauriyah (menyembunyikan maksud sebenarnya), yang hukumnya diperbolehkan. Yakni, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim, Al-Khalil a.s, ketika beliau berkata, “Sesungguhnya aku ini sedang sakit.”

Demikian pula, sebagaimana tauriyah yang dilakukan Rasulullah saw dalam salah satu peperangan. Yakni, jika beliau hendak menuju ke arah selatan, beliau akan bertanya jalan ke arah utara.

Sebagian penuntut ilmu berkata kepada Imam Ahmad, “Lakukanlah tauriyah dalam perkataan.” Beliau kemudian berkata kepada mereka, ”Keluarlah dan lihatlah dari balik pintu ini. Apa yang kalian lihat, apa yang kalian tunggu, dan apa yang ada di tangan mereka?”

Lalu, mereka pun keluar dan mendapati manusia telah berdesak-desakan di depan pintu sambil membawa pena dan menantikan apa yang akan dikatakan Imam Ahmad kemudian menulisnya. Maka, sebagian penuntut ilmu itu pun menerima alasan beliau.

Dalam fitnah tersebut, beliau mendapat siksaan yang sangat banyak. Namun, hal itu hanya membuat beliau semakin bertambah kesabaran dan pengharapannya terhadap pahala.

Sumber : Ittaqi Da’watal Madzlumi karya Syaikh Saad bin Said Al-Hajuri

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.