Hakim Culas, Hukum Kandas

Hakim (qadhi) termasuk jabatan mulia dalam sejarah Islam. Karena tugas hakim adalah memutuskan hukuman sesuai dengan landasan Al-Quran dan As-Sunnah. Dahulu para khalifah di masa-masa awal sangat memperhatikan hal ini dengan memilih seorang hakim yang paling shalih, paling berilmu dan paling bertakwa, karena melihat pentingnya posisi tersebut dan bahaya yang mungkin terjadi ketika jabatan tersebut dipegang orang yang tidak tepat.

Dahulu, orang yang dipilih menjadi hakim merasa takut dan lari dari amanah besar ini karena melihat sensitifitas dan dengan standar dzalim dan adil dan hak-hak manusia menjadi tanggung jawab seorang hakim. Namun berjalannya waktu, banyak manusia memperdagangkan jabatan ini. Mereka jauh dari hukum Allah, sembarangan dalam memilih hakim. Hakim terpilih juga memanfaatkannya untuk meraih kedudukan dan akses-akses materi dan maknawi yang besar.

Banyaknya Hakim yang dipilih sembarangan berakibat kepada penegakan hukum yang carut marut belakangan ini, yang merupakan sumber utama kehancuran bangsa dan negara hal ini sebagaimana telah disinyalir Nabi Muhammad Shalalallahu ‘ALaihi Wasallam, sebagai indikator kehancuran suatu negeri.

Hancurnya tatanan sosial Bani Israil misalnya, karena hukum yang tidak ditegakkan dengan semestinya. Ketika yang melanggar orang terhormat, hukum menjadi lunak. Namun, kalau rakyat jelata yang melakukannya, tiba-tiba hukum menjadi tegak. Melihat fenomena demikian nabi dengan tegas berkata, “Sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari). Sebagai komitmen atas pentingnya penegakan hukum.

Diantara kunci penegakan hukum terletak pada hakim yang adil yang dirasa sulit ditemukan saat ini. Hakim yang culas, zalim tidak akan mungkin menegakkan kebenaran, yang ada Hakim ini akan mudah untuk menerima suap dan menyalahgunakan Jabatan.

Terkait hal ini, Rasulullah SAW pernah menyebutkan tiga tipe hakim. Dua akan dijebloskan ke neraka dan satu ke surga. “Hakim itu ada tiga: dua di neraka dan satu di surga. Seorang hakim yang memutuskan hukum tidak berdasarkan kebenaran padahal ia mengetahuinya, maka di neraka. Seorang hakim yang memutuskan hukum tanpa ilmu sehingga hilanglah hak-hak manusia, maka ia di neraka. Dan seorang hakim yang memutuskan berdasarkan kebenaran, maka ia di surga.” (HR. Tirmidzi no. 1322)

Dalam hadist tersebut ada peringatan keras terhadap hakim yang memutuskan perkara berdasarkan nafsu, yaitu memutuskan berdasarkan keinginan manusia, baik karena syahwat atau kecenderungan nafsunya tanpa memperhatikan keadilan dan kebenaran.

Itulah perkara yang sangat membahayakan, karena menyangkut nyawa manusia, harta dan kehormatan. Karena itulah, para ulama mengingatkan supaya hakim memutuskan berdasarkan hukum Allah meskipun diimingi harta yang banyak dan akses-akses duniawi lainnya atau diintimidasi oleh orang-orang zalim.

Hakim kedua yang digambarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berada di neraka adalah hakim yang tidak memiliki pengetahuan, bukan pengikut hawa nafsu sebagaimana yang pertama. Hakim ini terkadang tidak memiliki kecenderungan kepada pihak tertentu atau berharap materi, namun ia hanya malas dan sembarangan dalam mempelajari hakikat perkara, tidak mengerahkan segala kemampuannya untuk memperoleh keterangan, ia terburu-buru memutuskan hukum tanpa pengetahuan yang rinci, maka ia terjerumus dalam bencana, terkhusus pada persoalan yang menyangkut harta dan nyama manusia.

Tidak memiliki pengetahuan artinya tidak memiliki ilmu tentang hukum yang terkait dengan perbuatan yang dipersangkakan bahwa terdakwa telah melakukannya. Maka dianjurkan bagi hakim untuk membaca, mempelajari, menegaskan, dan mengisyaratkan bahwa ia tidak sedang bersiasat atau menutup-nutupi. Sesungguhnya urusan ini tidak hanya tentang kehidupan yang dunia yang terbatas, namun tentang akhirat, darah dah hak-hak yang tidak pernah dibiarkan oleh Allah kecuali ada qishash (balasan). Dua macam hakim ini mendapatkan dosa sampai ia memutuskan perkara dengan berdasarkan kebenaran, kebenaran yang tidak diinginkan oleh kedua hakim tersebut. Keinginan hakim yang pertama adalah menuruti hawa nafsunya, dan hakim kedua adalah meninggalkan ilmu.

Hakim yang terakhir, yang digambarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah hakim yang masuk surga. Dia lah hakim yang memutuskan perkara berdasarkan kebenaran setelah mempelajarinya berdasarkan bukti-bukti dan tidak ada hasrat mengikuti hawa nafsu, netral pada terdakwa dan memberikan hak-haknya secara penuh, tidak berlebihan atau mengabaikan, atau takut pada penguasa, pemilik kedudukan, orang yang punya pengaruh atau orang kaya. Ini lah hakim yang sesungguhnya, sehingga tidak mengapa jika ia salah dalam vonis, karena ia telah mengerahkan seluruh kemampuannya dan meninggalkan hasrat nafsunya, ia tidak bermalas-malasan untuk mempelajari hukum dan mengetahui bukti-bukti terkait.

Jika ia takut pada sesuatu, hal itu terlepas dari keinginannya tanpa menutup-nutupi. Sesungguhnya menegakkan keadilan adalah gerbang yang benar dalam kebijakan sosial. Tanpa keadilan akan kacau, hilang keberkahan, kehidupan manusia rusak, padahal itu adalah kekuatan bagi negeri. (***)

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.