Hakikat Penciptaan Manusia

Manusia mahluk ciptaan ALlah, SWT yang berbuat sesuatu pasti ada dorongan (motivasi) nya, begitu pula dalam beribadah menyembah Allah dalam pengagungan Allah, SWT yang menjadi pendorong Manusia untuk senantiasa melaksanakan ibadah yaitu :

1. Merasakan banyaknya ni’mat Allah
2. Merasakan keagungan Allah SWT

Semakin besar dorongan atau motivasi dalam melaksanakan ibadah itu, maka akan semakin rajin ibadahnya.

Ketika Aisyah ra bertanya kepada Rasulullah SAW, kenapa beliau terlalu memayahkan diri sedang segala dosanya yang lalu maupun yang akan datang sudah diampuni oleh Allah? Jawab Rasul:
أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا
Tidakkah patut baginya menjadi hamba yang bersyukur? (HR Bukhari)

Ibadah merupakan sebagai implementasi rasa syukur manusia kepada penciptanya sehingga Nabi Muhammad, Saw yang sudah dijamin ALlah SWT dengan ganjaran syurga justru manusia yang paling taat dalam melakukan
ibadah.

Besarnya nikmat yang diberikan Allah, SWT maka oleh karena itu berkali-kali sebanyak 31 kali, Allah mengingatkan manusia dan jin akan  ni’matNya di surat Ar-Rahman: فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

Rasulullah SAW membaca surat ar-Rahman kemudian bersabda, “Aku mendengar jawaban jin kepada Tuhannya lebih baik dari kalian.” Para  sahabat bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” Setiap mendengar فَبِأَيِّ آَلَاءِ
رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ maka dijawab, لا بِشَيْءٍ مِنْ نِعْمَةِ رَبِّنا نُكَذّبُ (tidak ada sesuatu pun dari ni’mat Tuhan kami yang kami dustakan)

Beribadah merupakan bentuk pengagungan Allah, SWT mengenai keagungan Allah dapat kita lihat dari berbagai ciptaan Nya yang luar biasa yaitu  dalam hal penciptaan langit dan bumi yang sampai sekarang belum dapat
dipecahkan rahasianya (QS. 41:9-12, 79:27-33), QS. 67:3-5 pandanglah langit, lalu pandanglah langit apakah ada cacatnya?

Apa hakikat ibadah itu?

1. Puncak penghinaan diri (غَايَةُ التَّذَلُّلِ)
2. Puncak kecintaan (غَايَةُ الْمَحَبَّةِ)
3. Puncak ketundukan (غَايَةُ الْخُضُوْعِ)

Ketiga keadaan ini mesti ada saat kita beribadah kepada Allah SWT, kalau tidak, maka ibadah kita tidak sempurna (cacat)

Puncak Penghinaan Diri (غَايَةُ التَّذَلُّلِ)

Sujud merupakan tanda penghinaan diri yang paling nyata, manusia  dilarang untuk melakukan ruku’ dan sujud kepada selain Allah, karena  manusia adalah makhluk yang mulia (QS. 17:70) yang dianugerahi Allah,  dengan akal dan fikiran sehingga dapat membedakan hal yang baik dan buruk. didalam setiap shlat didalam Doa ruku’ dan sujud juga menunjukkan bahwa kita ini sangat hina dan kecil di hadapan Allah doa yang dibaca diantaranya dalam sujud:
عُبَيْدُكَ بِفَنَائِكَ, مِسْكِيْنُكَ بِفَنَائِكَ, فَقِيْرُكَ بِفَنَائِكَ, سَائِلُكَ بِفَنَائِكَ
Hamba Mu yang kecil ini ada di halaman Mu, yang miskin kepada Mu ini  ada di halaman Mu, yang faqir (perlu) kepadaMu ini ada di halaman Mu,  dan yang minta kepada Mu kepada Mu ini ada di halaman Mu

Puncak Kecintaan (غَايَةُ الْمَحَبَّةِ)
Didalam surat QS. 2:165 orang beriman itu sangat amat cintanya kepada  Allah, orang yang beriman beribadah dengan penuh cinta akan terasa  indah dan ni’mat, ibadah menjadi suatu yang dirindukan, bukan beban
قُمْ يَا بِلَالُ فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ
Berdirilah wahai Bilal, hiburlah kami dengan shalat (HR Abu Dawud)

Seorang berada di lapangan, sementara matahari sangat teriknya. Terlihat ia asyik sekali, tanpa merasakan teriknya matahari. Ia berlama-lama dengan satu burung merpati yang ada di tangannya, dan satunya lagi terbang dan kadang menukik menuju orang itu. Betapa gembiranya saat melihat merpati yang terbang tinggi lalu menukik tajam. Ia lakukan demikian di tangah sengatan matahari karena begitu cintanya  kepada burung merpati. Begitu sepatutnya kita dalam beribadah kepada Allah

Puncak Ketundukan (غَايَةُ الْخُضُوْعِ)

Proses menuju ketundukan manusia didapat dengan adanya Ilmu, Iman dan  tunduk, semakin tinggi ilmunya, maka akan semakin kuat imannya, dan  makin tunduk (bagai padi dan pisang). Tunduk kepada perintah Allah
dengan melaksanakannya, dan tunduk kepada laranganNya dengan menjauhinya

Cinta dan Tunduk

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ibadah itu cinta dan tunduk (العبادة: المحبة والخضوع)

Cinta tanpa tunduk: perintah tertentu dilakukan dengan penuh cinta, giat, khusyu’, tapi Tidak semua perintah Nya dilaksanakan (ini disebut juz’iyyah, parsial)

Tunduk tanpa cinta: semua kewajiban dilakukan tapi beberapa atau semuanya dilakukan dengan terpaksa (ini sifat munafik tulen)

Raja’ dan Khauf

Ibadah yang dilakukan hendaklah disertai rasa harap (اَلرَّجَاءُ) dan cemas ( اَلْخَوْفُ)
Imam Nawawi: “Sebaiknya seorang dalam masa sehat seimbang antara rasa cemas terhadap siksa Allah dan mengharap rahmat Allah. Tetapi pada masa sakit, hendaknya hanya mengharap rahmat Allah, sebagaimana tuntunan al-Qur’an dan Hadits.”

Editor : Zetriansyah

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.