Kerikil Doa

Oleh Saskia Epriliana

Cerita ini berawal dari berita duka meninggalnya tetangga dekat rumah, tepat satu bulan usia pernikahan kami. Saya dan suami saat itu baru yang tinggal bersama di pondok indah mertua. Di’rumah baru’ ini tentu saja saya mulai beradaptasi dan bergaul dengan lingkungan sekitar. Sebagai tetangga yang baik (dan menantu idaman) maka jika ada tetangga yang mengalami musibah kami sekeluarga selalu menyempatkan berbelasungkawa.

Malamnya, umumnya keluarga yang berduka menggelar acara tahlilan bersama. Ini pengalaman pertama saya mengikuti tahlilan di luar daerah asal tempat saya, dan di sini awal cerita menggelikan itu terjadi. Hari pertama tahlilan kami – ibu mertua dan saya, datang terlambat, suasana di tempat duka sudah penuh sesak.

Konsekuensi dari orang yang terlambat tentu saja kami harus menyalami semua yang hadir terlebih dahulu. Itu artinya kami harus terus membungkukkan punggung dan menunduk sambil menyalami satu persatu dari ujung sini hingga ujung sana. Lumayan…

Sebelum acara dimulai perhatian saya tertuju pada beberapa ember kecil berisi kerikil yang diletakkan ditengah-tengah tempat kami duduk. Para ibu dengan cekatan mengambil satu genggam kerikil secara bergantian kemudian meletakkannya di depan tempat duduk mereka masingmasing. Sejenak mengamati apa yang terjadi sampai tiba giliran saya untuk mengambil kerikil di dalam ember, tanpa tahu maksud dan tujuannya saya pun mengikuti mereka dan mengambil segenggam kerikil kemudian saya letakkan di depan tempat duduk ibu mertua saya.

Tak berapa lama, acara tahlilan pun dimulai. Dipandu oleh pak Kiai dengan lantang dan khidmat beliau memimpin pembacaan tahlil yang diikuti serentak oleh seluruh jamaah yang hadir. Saya mengikuti dengan serius doa yang dilafalkan, sambil sesekali berpikir apa sebenarnya kegunaan batu kerikil yang barusan kami ambil.

Belum habis rasa penasaran di hati saya tiba-tiba pak Kiai menghentikan  memimpin doa, semua tamu seketika terdiam, saya pun otomatis ikut terdiam juga. Di keheningan itu lagi-lagi otak saya masih menerka-nerka kenapa semuanya tiba-tiba terdiamya,,,padahal tahlil biasanya dibaca sampai selesai. Apa saya yang kurang paham padahal asal saya dan suami hanya berbeda kabupaten saja rasanya adat dan tradisi kami tidak jauh berbeda.
Sayup- sayup saya mulai mendengar para jamaah melantunkan ayat-ayat Al-Quran dengan kerikil masing-masing di tangan. Saya pasang kuping lebar-lebar mencoba menangkap setiap potongan ayat yang dibaca dan saya menyimpulkan bahwa mereka membaca surat al-ikhlas yang dibaca berulang-ulang. Melihat pemandangan demikian, dengan senyum percaya diri kemudian saya mulai mengikuti membaca demikian. Lima belas menit berlalu, pak Kiai menutup acara dengan bacaan doa, Aaahh…akhirnya kekikukan saya berakhir juga.

Tetapi alangkah kaget saya melihat adegan selanjutnya, semua jamaah tahlil mengumpulkan satu per satu batu kerikil mereka. “Sini kumpulkan batu yang kecil kepada saya.” kata seorang ibu setengah baya. “Ini kecil  tapi berisi besar.” ucap yang lainnya.

Di sini saya bukan bertambah paham, malah bertambah bingung. Apalagi setelah seorang tetangga yang duduknya bersebelahan dengan ibu mertua meminta batu kerikil kepunyaan saya. Duuhh… makin kelabakan deh saya. Syukurlah ibu mertua ‘menyelamatkan’ saya dengan berkata bahwa batu kerikilnya sudah ikut terkumpul di depan.

Sepulangnya kami dari tahlilan, di rumah saya sungguh tidak tahan lagi memendam keingintahuan saya dan langsung bertanya kepada ibu mertua. Ibu menjawab sambil diselingi tawa. Duuh. Ibu malah bikin gemes deh.

Dan kalimat yang keluar dari mulut ibu benar-benar berhasil membuat muka saya merah padam karena malu.“ kerikil itu tanda doa kita, setiap kerikil berukuran kecil mewakili satu doa yaitu satu bacaan surat Al-Ikhlas begitupun dengan kerikil besar artinya kandungan doa dalam setiap ukuran batu berbeda sesuai jumlah isi surat al-ikhlas yang dibaca. Jika sudah terkumpul sepuluh ribu kerikil besar maupun kecil, kami percaya akan dapat menolong orang meninggal yang kami doa kan.”

Alammaakkk…jadi begitu ceritanya. Adat istiadat memang sangat beragam. (femina)

***
Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.