Kesaksian Seorang Dokter Indonesia, Nasib Etnis Uighur di Xinjiang

Intersisinews.com, Banyak muncul fakta tentang bentuk diskriminasi yang dialami etnis Muslim Uighur di Xinjiang. Seperti halnya cerita yang dituturkan Dokter Enis. Ia mengaku mengalami sendiri apa yang dirasakan oleh Muslim di Xinjiang karena pernah tinggal bersama mereka.

Dilansir dati kiblat.net Dokter rehab medik itu pernah tinggal di China pada 11 Januari 2015 hingga Agustus 2017 untuk mengambil kursus akupuntur. Selama di China, dia tinggal dan bergabung dengan komunitas Muslim yang ada di sana. Dari situlah dia mulai mengenal Muslim Uighur.

Ernis sempat mengungkapkan, bahwa sebutan Uighur kurang dikenal oleh masyarakat China. “Sebenarnya mereka kenalnya Urughi sama Xinjiang, kurang kenal dengan sebutan Uighur,” katanya saat berorasi dalam aksi bela Uighur di depan Kedubes China di Jakarta pada Jumat (21/12/2018).

Pengalamannya dengan Muslim Uighur semakin terasa saat saat dirinya menginap di salah satu rumah keluarga Xinjiang. Suatu hari sekitar pukul 2 dini hari dia ingin pergi ke kamar kecil. Kemudian dia membangunkan anak dari keluarga Xinjiang tempat ia menginap.

Bukannya menunjukkan toilet, si anak justru mencari-cari kunci gembok. “Saya mau ke WC bukan mau pulang!” ungkap Dokter Ernis kepadanya. Si anak pun menjawab, “Iya kita nggak boleh bikin kamar mandi sama WC,” jawabnya.

Dari sanalah Dokter Ernis baru mengetahui, bahwa ternyata keluarga Xinjiang tidak boleh membuat kamar mandi dan WC di dalam rumahnya. “WC-nya WC bersama, jam 2 pagi harus keluar dari pintu gerbang. Buka gerbang, keluar ke WC hanya untuk buang air kecil. Jadi sedih sekali,” ujarnya.

Kondisi berimbas kepada aktivis mandi warga setempat, terutama kaum wanita. Mereka menggunakan tempat wudhu masjid untuk mandi. “Jadi kalau mandi, yang perempuan mandi di tempat wudhu yang perempuan. Sehingga mereka mandi hanya sekedarnya, punya handuk nggak cuman kecil, karena nggak bisa mandi yang bener, karena mereka nggak bisa bikin kamar mandi sama WC,” tuturnya mengenang.

Sebagai seorang muslimah yang selalu mengenakan hijab semasa tinggal di China, Dokter Ernis mengakui selalu mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan oleh masyarakat China. “Di sana saya berjilbab, setiap saya pergi kemana-mana saya selalu di bilang Xinjiang, Xinjiang,” ungkapnya.

Ketika pergi ke sebuah mall dan masuk ke salah satu butik untuk membeli baju, ia sangat heran karena seringkali tidak dianggap. Puncaknya adalah ketika ada seorang ibu China yang sedikit bergaya.

“Ibu tersebut membeli satu potong baju yang ada di butik tersebut, kemudian saat ia bertanya ia tidak menjawqb pertanyaannya, bahkan ia tidak boleh memegang baju yang dibeli oleh ibu tersebut,” katanya.

Dia mengatakan, di negara China akses informasi sangatlah terbatas. Berbagai situs dan media sosial banyak yang diblokir oleh pemerintah China, sehingga mereka pun terpaksa menggunakan aplikasi lokal yang diperbolehkan pemerintah China.

“Karena semuanya mereka tutup, Youtube nggak bisa dibuka, FB nggak bisa, Gmail nggak bisa, yang ada cuman Wechat sama QQ,” jelas Dokter Ernis.

Warga Xinjiang juga tidak diperbolehkan melakukan haji ataupun umrah, hal itu dikarenakan mereka tidak boleh memiliki pasport.

“Kalau kita temui di Makkah itu, (orang) China yang berhaji dan berumrah itu bukan orang Xinjiang, itu bukan dari provinsi Xinjiang. Saya yakin, karena saya tinggal di sana,” ungkapnya.

“Jadi memang keadaannya menyedihkan, tidak boleh bikin pasport, di dalam rumahnya tidak boleh bikin kamar mandi, tidak boleh ada WC,” tukasnya. (**)

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.