Ketika Landreform Berhadapan Dengan Pidana

Intersisinews.com – Landreform sendiri berarti suatu upaya sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat baru yang demokratis dan berkeadilan, yang dimulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul dengan sejumlah program pendukung lainnya untuk meningkatkan produktivitas pertanian khususnya dengan sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya (Bachriadi, 2007) yang dalam bahasa Indonesia Landreform diartikan sebagai Reforma Agraria.

Pada saat Indonesia merdeka kemudian Undang-Undang Dasar 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945  maka Agraria di Indonesia sudah tertuang jelas di Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemudian Lnad Reform ditegaskan dalam hukum Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dimana setiap orang baik individu maupun badan hukum diberikan hak untuk memiliki dan/atau menguasai tanah di Indonesia dengan diberikan alas hak berupa sertipikat tanah, akan tetapi yang jadi persoalan adalah kenyataan banyaknya timbul masalah karena adanya tumpang tindih hak atas tanah ataupun masalah Sertipikat yang sudah habis masa berlakunya tapi si pemilik masih menguasai tanah tersebut yang akhirnya bisa berujung kepada tindak pidana.

Sebagai contoh di Bengkulu sempat heboh adalah tindak pidana dalam Perkara Nomor :   56/Pid.B/2022/PN.Bgl dimana 5 (lima) orang dari masyarakat Desa Jenggalu Kecamatan Sukaraja Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu bersama-sama 3 (tiga) orang anggota Organisasi Masyarakat (Ormas) GSPI harus merasakan dinginnya dinding penjara karena divonis bersalah terlibat dalam aksi Pencurian dan Provokasi melakukan pemanenan sawit di lokasi Ex PT. Jenggalu Permai yang saat ini dikuasai oleh PT. Agri Andalas.

Permasalahan paling kompleks dikarenakan adanya permasalahan Agraria yakni menyangkut Peraturan Pemerintah Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha sebagaimana tertuang dalam Pasal 54 ayat (1) yang menyatakan Apabila Hak Guna Usaha hapus dan tidak dapat diperpanjang, bekas pemegang hak wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong paling lambat waktu 1 (satu) tahun sejak hapusnya hak, kemudian pada ayat (2) menyatakan dalam hak bekas pemegang hak tidak membongkar, bangunan dan benda-benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanah beserta bangunan dan benda-benda dikuasai langsung oleh negara. Persoalan ini menjadi kompleks dikarenakan PT. Agri Andalas hanya mempunyai surat kuasa penguasaan lahan dari Pemengang HGU yaitu PT. Jenggalu Permai namun persoalannya HGU tersebut telah habis pada tahun 2016 dan PT. Jenggalu Permai tidak memperpanjangnya begitupun dengan PT. Agri Andalas belum memiliki HGU baru, oleh karena itu menurut kuasa hukum Para Terdakwa merasa perbuatan Para Terdakwa tidak dapat dihukum karena Negara sebagai pemilik sah tanah tidak melaporkan adanya tindak pidana pencurian karena sesuai Pasal 54 tersebut maka Negara lah yang saat ini menjadi pemilik tanah HGU Eks PT. Jenggalu Permai sebagaimana ditegaskan juga oleh Ahli Hukum Agraria Ahmad Wali, S.H.,M.H. pada saat ditanya di Pengadilan Negeri Bengkulu saat ingin menjadi saksi ahli.

Namun pendapat berbeda dari Hakim Pengadilan Negeri yang menyatakan perbuatan Para Terdakwa telah mencuri sawit milik PT. Agri Andalas. Perkara lainnya yang sempat menghebohkan di provinsi Bengkulu pada bulan Mei 2022 adalah 40 Petani ditangkap dan dijadikan tersangka oleh Polisi karena dituduh mencuri tandan buah sawit segar (TBS) di Areal Divisi 7 Lahan Eks PT. Bina Bumi Sejahtera (BBS) yang saat ini dikelola oleh PT. Daria Dharma Pratama (DDP) di Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu, dimana karena kasus penangkapan ini sampai membuat hampir 136 Advokat dari berbagai daerah “turun tangan” untuk membela para petani tersebut. Namun dalam kedua persoalan ini negara dalam hal ini diwakili Pemerintah Daerah bertindak berbeda yakni pada persoalan 8 (delapan) orang Terdakwa yang diduga mencuri TBS milik PT. Agri Andalas tidak merasa dibela oleh pemerintah setempat yakni pemerintah Kabupaten Seluma hingga akhirnya divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkulu sedangkan pada permasalahan 40 Petani yang diduga mencuri TBS milik PT. DDP dibela oleh pemerintah setempat yakni Pemerintah Kabupaten Mukomuko yang kemudian mengajukan penangguhan penahan dan membantu memfasilitasi menyelesaikan permasalahan kedua belah pihak hingga akhirnya Polri menerapkan Restorative Justice atau Keadilan Restoratif hingga akhirnya membebaskan 40 Petani tersebut setelah terjadinya kesepakatan damai antar kedua belah pihak. Persoalan paling baru di bulan Juni ini ketika seorang anggota TNI-AD yang bertugas di Kodim Seluma ditemukan tewas dengan tubuh penuh luka bacok yang dilakukan oleh seorang petani karena sengketa lahan.

Mengutip penyataan dari Presiden RI Ir. H. Joko Widodo yang menyatakan bila 80 juta rakyat Indonesia menempati lahan tapi tidak mempunyai alas hak sertipikat sebagaimana pernyataan di Metro TV Pukul 17.51 WIB Kamis 09/006/2022 dalam acara Prime Time News, orang bisa saling bacok atau saling bunuh karena persoalan tanah dan persoalan tanah bisa melibatkan individu ke individu maupun terhadap badan hukum. Oleh karena itu maka pentingnya penegakan Landreform di Indonesia karena pada dasarnya tujuan dari landreform adalah tanah untuk petani. Aturan dari UUD 1945 Pasal 33 dan UUPA beserta turunan peraturannya seperti Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri ATR/BPN harus ditegakkan secara maksimal.

Sebagaimana tujuan mulia dari Presiden RI Ir. H. Joko Widodo yang selama ini selalu menyatakan agar permasalahan tanah di Indonesia segera diselesaikan makanya negara memfasilitasi penyelesaian permasalahan tanah dengan melakukan pembuatan sertipikat secara sistematis yakni melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) hingga setiap orang dapat memiliki sertipikat tanahnya karena tujuan landreform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup petani penggarap tanah, sebagai landasan atau pra syarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Permasalahan kepemilikan tanah “yang tidak jelas” karena persoalan habisnya Hak Guna Usaha (HGU) ataupun tumpang tindih kepemilikan tanah harus segera diselesaikan oleh Negara melalui pemerintah daerah setempat maupun oleh ATR/BPN setempat yang harus lebih pro aktif bergerak ke lapisan masyarakat dan bila perlu membentuk tim khusus penyelesaian sengketa tanah agar permasalahan tersebut tidak berujung tindak pidana sebagaimana Polri dan Kejaksaan sendiri telah membentuk Tim Satgas Anti Mafia Tanah.

Nama : FERY OKTA TRINANDA, S.H.

NIM : 2141007004

Mahasiswa Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (UTA) dan Advokat

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.