Dana Kampanye Mahal, Awal Anggota DPR Korupsi

Intersisinews.com, Tindak  kriminal korupsi tidak hanya merugikan pihak negara, namun masyarakat juga ikut merasakan kerugian tersebut. Bahkan, masyarakatlah yang paling banyak merasakannya, meski mungkin tidak secara langsung. Akibtanya bisa kualitas hidup menjadi turun drastis, akses bagi masyarakat akan menjadi terbatas.

Sementara bagi negara di antaranya adalah wibawa menurun di mata dunia dan masyarakatnya. Tentu jika diurutkan satu per satu, masih banyak akibat materil dan imateril dari korupsi. Yang jelas, merugikan!

Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka tindak kriminal korupsi cukup tinggi. Dari tahun ke tahun selalu saja ada berita tertangkapnya pejabat yang melakukannya. Yang terbaru dan menghebohkan adalah korupsi yang terjadi di Kota Malang beberapa minggu lalu. Bagaimana bisa hampir seluruh anggotanya massal melakukan tindakan haram tersebut.

Memang, menurut Lembaga pemantau tingkat korupsi dunia (Amnesty International) tindak korupsi Indonesia pada 2018 menurun dibandingkan tahun 2017. Saat ini berada di urutan 96 atau turun delapan peringkat dari tahun sebelumnya. Namun, siapa pun berharap negara Muslim terbesar ini bersih dari korupsi.

Apa penyebabnya tindak kriminal korupsi di Indonesia, khususnya menyangkut anggota DPR? Abdullah Alawi dari NU Online berhasil mewawancarai pakar politik Islam, Masykuri ABdillah di PBNU. Berikut petikannya:

Bagaimana bisa korupsi dilakukan secara massal seperti yang terjadi di Kota Malang itu?

Pertama, ingin saya nyatakan korupsi bertentangan dengan hukum agama dan hukum bernegara. Itu harus dilihat juga penyebabnya. Mestinya kalau manajemennya rapi, tidak terjadi peristiwa yang ada di Malang itu ya. Itu saya kira harus memperbaiki mentalitas korupsi itu harus bersamaan perbaikan berbagai hal. Tentu yang pertama pendekatan hukum. Kedua, perbaikan manajemen. Ketiga, sumber daya manusianya juga termasuk mentalitas dalam arti kompetensi maupun kualita moralitas. Itu saya kira yang harus dilakukan negara Indonesia yang mayoritas Muslim ini.

Bagaimana perbaikan mentalitas dan hukum? 

Hukum saya kira sudah cukup bagus ya. Mentalitas yang saya kira perlu mendapatkan itu karena di beberapa kasus kadang-kadang didukung oleh keinginan untuk cepat. Jadi beberapa kasus misalnya Zumi Zola itu kan ingin menyelesaikan sebuah program atau menyetujui sebuah anggaran, tapi kadang-kadang dilama-lamakan oleh DPR atau DPRD, oknumlah, tapi kemudian kenapa dilama-lamain padahal sebenarnya bisa dicepatkan, maka kemudian ada ide dari pihak eksekutif untuk memberikan pelicin agar mudah untuk dicepatkan.

Nah, itu yang kadang-kadang sampai sekarang masih terjadi. Dan sebenarnya kalau pihak eksekutif tidak mau, itu akan bagus. Katakanlah, DPRD atau oknum DPRD meminta imbalan agar bisa ketok palu, tapi kalau dari pihak eksekutif tidak mau kan akhirnya akan ketahuan juga. Ini kedua-keduanya yang harus baik, dari pihak mekanisme pengambilan keputusan perlu kesabaran, dan seandainya tidak ditetapkan kan bisa saja, kanapa terjadi deadlock, tidak diputuskan, bisa yang menyampaikan, yang malu kan dari pihak anggota DPRD juga.

Jadi, maksud saya kalaupun itu kesalahan dari DPRD misalnya, tetapi dari pihak eksekutif itu juga punya andil juga dalam beberapa hal ya. Tidak semuanya.

Bagaimana caranya supaya kualitas DPRD menghasilkan wakil yang bagus?

Itu memang pada individu-individu memang perlu ya persolan akhlak, persoalan moral, tapi juga sistem itu harus sederhana mungkin, karena kalau anggota DPR dan anggota DPRD itu mendapatkan tambahan dari yang tidak halal, itu terkait dengan adanya biaya politik yang tinggi. Kalau kita melihat berapa yang harus habis untuk mencalonkan diri sebagai seorang DPRD provinsi, kabupaten atau pusat, itu kan sebenarnya sangat besar. Jadi, mungkin perlu ada penyederhanaan peraturan lagi terkait dengan biaya yang harus dipakai. Misalnya begini untuk sosialisasi itu dipatok dibatasi, tidak boleh banyak, begitu juga dari besarnya umbul-umbul. Itu dibatasi.

Demikian pula politik uang, karena politik uang dari bisik-bisik itu masih terjadi sampai sekarang, kadang-kadang sulit untuk ditindak. Dan saya sendiri pernah menanyakan ke beberapa orang yang katanya pernah mendapatkan uang sampai seratus sampai dua ratus, itu meraka mengaku ya, tapi ternyata agak sulit untuk dijerat peraturan itu. Nah, ini saya kira kalau penegakkkan hukum itu adalah penegakkan dari politik uang agar bisa terhindar. Jadi, orang yang mau mencalonkan diri itu tidak harus banyak mengeluarkan uang. Mungkin dengan cara sederhana, apakah melalui media sosial, atau kalau misalnya spanduk, tidak berlebihan. Tapi yang jelas, haram untuk mengeluarkan politik uang atau membayar pemilih itu saya kira yang terjadi saat ini.

Harusnya ada pembatasan tadi. Jadi pembayaran, banyak kan cerita-cerita ada yang dibayar seratus dua ratus, itu yang harus diawasi betul-betul secara ketat. Penegakkan hukum itu masih kurang orang, itu harus ditambah lagi tenaga-tenaga untuk itu. Itu saya kira yang belum terselesaikan saat ini. Kemudian dari sisi penggunaan sosialisasi itu. Itu juga sulit. Tapi yang paling terkait dengan itu adalah pembayaran tadi sebenarnya. Kalau hanya persoalan sosialisasi itu tidak banyak berpengaruh, tetapi kalau persoalan memberikan uang itu seratus, dua ratus, kadang-kadang pemilih itu memilih yang banyak.

Nah, di situ sebenarnya yang perlu mendapat tekanan. Kalau masalah kualitas saya kira memang, di negara demokrasi ya seperti itu ya, bukan berdasarkan kualitas, tapi berdasarkan pilihan rakyat. Tapi tadi kalau tidak ada politik uang saya kira otomatis rakyat itu akan memilih yang terbaik, yang sudah dikenal selama ini kebaikannya. Nah, ini yang masih menjadi tantangan bagi kita semua. Jadi, kalau masalah korupsi, saya yakin bisa terselesaikan secara hukum, tetapi yang belum itu tadi, yang menyebabkan korupsi itu adalah biaya politik itu tadi, yakni politik uang. Sementara penegakkan hukum untuk menghilangkan politik uang itu yang belum maksimal.

Kenapa penegakkan hukum masih belum menimbulkan efek jera, tidak membuat enggan korupsi? 

Ini persoalan juga. Jadi, sanksi itu masih sanksi penjara, tidak sanksi sosial. Ini sekarang sudah maju, ada sanksi penjara, ada sanksi politis. Sanksi politis itu yang ramai dibicarakan saat ini, yakni orang yang mantan koruptor itu tidak boleh menjadi calon legislatif dan eksekutif. Nah, itu sudah bagus. Kemajuan. Itu hukum fisik dan politis. Sekarang, sanksi sosial, yang sekarang belum efektif menurut saya karena kadang-kadang, orang yang sudah jelas-jelas sekian tahun di penjara, kemudian pulang, dia masih mempunyai uang banyak, orang itu dermawan, disumbangkan untuk kegiatan sosial, untuk masjid, karang taruna, olah raga di daerahnya itu, orang udah lupa bahwa orang itu bekas narapidana, malah diunggul-unggulkan begitu. Nah, ini sanksi sosial ini yang masih belum menurut saya.

Posisi agama atau pendidikan ternyata tidak menghambat orang korupsi itu bagaimana penjelasannya? 

Ini tantangan juga. Saya kira semua lembaga pendidikan, semua materi pengajaran agama, itu semua mengatakan politik uang haram. Tapi ada beberapa hal faktor internal bagi pihak masing-masing. Tapi faktor eksternalnya yang sangat tinggi. Dengan demikian, tidak cukup hanya dengan pendidikan moral, pendidikan akhlak, tapi juga membuat sebuah sistem untuk melakukan penegakkan hukum yang tinggi. Penegakkan hukum untuk politik uang masih lemah, tapi penegakkan hukum untuk pelaku korupsi sudah sangat bagus.

Di dalam sistem demokrasi seseorang bisa mencalonkan wakil dari daerah yang tidak dikenalnya. Namun karena dia orang terkenal, misalnya artis, jadi menang. Bagaimana ceritanya bisa begitu?

Sebenarnya itu bisa dibuat aturan. Dulu memang pernah dimunculkan orang daerah. Tapi kemudian sekarnag tidak. Ini saya kira merupakan salah satu bahan yang perlu dibahas karena betapa pun juga orang yang daerahnya akan lebih mengetahui dari orang lain, dari daerahnya atau masih ada hubungan famili dengan daerahnya, tetapi itu tergantung dari masyarakatnya juga. Kalaupun tidak dipergunakan, tidak ada aturan keharusan itu, tetapi kan tadi, hanya orang-orang yang mencalonkan diri atau menjadi calon itu tidak boleh membayar politik uang, itu saya kira tidak bisa. Orang di jakarta misalnya tiba-tiba mencalonkan diri untuk di solo. Kalau tidak ada politik uang, tidak akan dikenal di Solo atau tidak akan dipilih di Solo karena orang melihat juga, karena masyarakat juga ada sedikit kemajuan juga, pinter, dia tidak akan dipilih di Solo karena melihat apa sih kontribusi ke kita. Memilih orang demikian itu karena tadi ada uang pelicin, politik uang tadi, hingga konstituen memilih karena bayaran tadi. (*)

 

Nuonline

Editor: Ardian

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.