“Pasar Bengkulu” Dalam Dinamika Sejarah Bengkulu

Oleh : Hardiansyah

Bengkulu masih dianggap sebagai daerah Peripheral (pinggiran) dalam penulisan sejarah nasional. Keberadaannya seolah dianggap ada dan tiada tenggelam dengan kebesaran Sriwijaya ataupun dinamika sejarah Minangkabau. Ia pula tidak se seksi Aceh dengan bermacam ragam peninggalan sejarahnya baik yang dikumpulkan oleh Sejarawan lokal maupun sejarawan internasional. Padahal daerah ini pernah menjadi pusat kekuasaan Inggris di Asia Tenggara dengan pusatnya di Fort Marlborough. Mengapa hal ini terjadi ? karena bisa jadi kita selaku warga Bengkulu kurang menghargai masa lalu. Sejarah Bengkulu hanya terkait erat dengan Putri Gading Cempaka, Putri cantik dari Kerajaan Sungai serut yang harus menyingkir ke pedalaman karena serangan Aceh. Sejarah Bengkulu juga masih kental dengan hal-hal yang bersifat legenda ataupun mitos. Sedangkan periode pada abad ke 20 saat pergerakan kebangsaan menusukkan pengaruhnya ke tulang sum sum kesadaran berbangsa masyarakat Bengkulu, kurang begitu diperhatikan padahal saksi sejarah masih banyak yang hidup dan sumber sejarah pun bisa dikatakan cukup banyak.

Jika Sartono Kartodirjo mengetengahkan Yogyakarta sebagai daerah “Klasik yang penuh dengan nilai historis”, maka di daerah Bengkulu terdapat sebuah daerah yang bernama Pasar Bengkulu yang memiliki nilai historisitas yang tinggi dan memainkan peran yang cukup signifikan dalam perjuangan kebangsaan Indonesia ini. Setidaknya terdapat beberapa peristiwa sejarah di daerah ini dimana peristiwa itu menempati posisi istimewa dalam sejarah Bengkulu, itu pun jika kita memandangnya “istimewa”.

  • Selintas Pandang

Jika disebut nama “pasar” maka pikiran kita akan langsung terkontak pada sebuah tempat yang luas dimana penjual dan pembeli bertemu dan melakukan transaksi perdagangan. Namun dalam hal tempat-tempat di Bengkulu yang menggunakan kata “pasar” di depannya masih perlu dianalisis secara mendalam lagi. Apakah kata “Pasar” tersebut hanya menandakan orang bertransaksi jual beli ataukah “pasar” yang dimaksud adalah tempat-tempat yang memiliki fungsi sosial dan ekonomi yang lebih luas daripada “pasar” yang kita kenal. Agus Setiyanto menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Pangeran Mangku Raja (anak Pangeran Raja Muda), telah terjadi perkembangan dalam struktur kekuasaan seiring dengan pesatnya perdagangan pada saat itu. Salah satunya adalah pasar yang menuntut Pangeran Mangku Raja membuat sebuah peraturan yang berkaitan dengan pasar di wilayahnya. Untuk itu diangkatlah empat orang menteri sebagai penghulu (kepala pasar) dengan gelar Datuk de ngan wilayahnya Pasar Pondok Tuadah, Pasar Melintang, Pasar Baroo dan pasar Malabro (Setiyanto, 2006:67)

Pasar Bangkahoeloe dahulunya adalah di bawah kekuasaan dari Pangeran Balai Buntar (Pangeran sungai Lemau) selain dari Sungai Lemau, Pale, lais, Bintuan, serangai hingga perbatasan Ibu kota (setiyanto, 2006: 51). Daerah ini akhirnya jatuh sebagai hadiah kepada bangsawan keturunan Bugis, Daeng Makule karena menikah dengan putri Pangeran dari sungai Lemau tersebut. Dengan prsetasinya ia diakui sebagai Penghulu dari semua bangsa kecuali bangsa Eropa dan diberikan wewenang untuk mengangkat datuk dari pasar-pasar melayu di Fort Marlborough (Burhan 1988:7). Ketika Belanda datang ke Bengkulu, empat datuk pasar-pasar Bengkulu ini diberhentikan kecuali Datuk Cahaya Negeri. Pada waktu itu berdiri pula penghulu pada tiap-tiap pasar yaitu Melabro, Pasar Melintang, pondok Juadah, Berkas dan anggut-penurunan, dimana posisi dan peran kekuasaan mereka sangat kecil dibandingkan sebelumnya (Burhan, 1988: 186-187).

Pasar Bengkulu pada saat ini adalah salah satu nama dari kelurahan yang ada di Kota Bengkulu dimana luas wilayahnya tentulah tidak sama dengan masa lalunya. Kelurahan ini saat ini berhadapan dengan Samudera Hindia di bagian baratnya, Sungai Bengkulu di bagian timur yang membatasi kelurahan ini dengan kelurahan Rawa Makmur. Ia juga diapit oleh Kelurahan Kampung Kelawi dan kelurahan Kampung Bali. Kelurahan pasar Bengkulu termasuk dalam kecamatan Sungai Serut setelah terjadi perluasan kecamatan di wilayah kota bengkulu. Penduduknya mayoritas menyebut dirinya sebagai melayu Bengkulu selain itu ada pula yang berasal dari luar kota Bengkulu ataupun dari daerah lainnya dengan mayoritas penduduk beragama Islam dan bermata pencaharian sebagai nelayan.

  • Nilai Historis Pasar Bengkulu Masa Swapraja

Jamak kita ketahui khususnya warga Bengkulu akan nama Puteri Gading Cempaka, seorang puteri yang demikian cantik anak dari ratu Agung Penguasa kerajaan Sungai Serut. Dalam kisahnya terjadi pertempuran antara kerajaan Sungai serut di bawah kepemimpinan Baginda Anak Dalam Muaro Bangkahulu dengan pasukan Aceh yang disebabkan oleh penolakan pinangan Puteri Gading Cempaka. Banyak hal yang menjadi tanda tanya dalam masa sungai serut ini diantaranya, siapa Ratu Agung ? Satu sumber menyatakan bahwa ia berasal dari Gunung Bungkuk. Ada pula sumber yang menyatakan ia berasal dari majapahit dan pendapat lainnya mengemukakan bahwa ia berasal dari Banten (Siddik, 1996:2). Hakim Bernadie menyatakan bahwa jika Ratu Agung itu adalah bukan keturunan langsung dari sultan Banten – dalam hal ini Sultan Hasanudin sebagaimana pendapat Abdullah Siddik- melainkan berasal dari kesultanan Kalapa yang menjadi vasal Banten dengan nama lainnya adalah Ratu Dewata (1535-1543 M). Setelah menjadi “akuwu” di kesultanan Kalapa, ia pun diangkat menjadi “akuwu” Banten di Sungai Serut Bengkulu. Namun jika dikatakan Ratu Agung adalah keturunan dari Sultan Hasanudin, maka Siddik kemungkinan salah mengidentifikasinya sebagai laki-laki. Djajadiningrat (1983:36) menyatakan bahwa Ratu Agung anak Sultan Hasanudin itu adalah seorang Putri yang juga dipanggil dengan Ratu Kumadaragi sedangkan anak laki-lakinya dari Pangeran ratu (Putri Demak) adalah Pangeran Sunyaras, Pangeran Pajajaran, dan Pangeran Pringgalaya.

Walau terdapat perbedaan pendapat, namun Abdullah Siddik dan Hakim Bernadie sepakat bahwa Bengkulu pada masa itu adalah daerah penghasil Lada yang sangat menjanjikan sehingga kehadiran Ratu Agung di sana erat kaitannya dengan sumber alam yang paling dicari bangsa barat ini. Hal iniah yang menyebabkan Banten begiu terpikat dengan daerah ini sehingga ia ditarik ke bawah pemerintahan Banten. (Djajadiningrat, 1983:71). Namun hubungan ini bukan hanya hubungan yang harmonis belaka. Guillot (2008 : 252) menhyatakan bahwa Bengkulu, Silebar dan Lampung mencoba lepas dari kekuasaan Banten dalam hal penjualan lada sehingga Sultan mengirimkan pasukannya ke tempat-tempat terpencil ini untuk memadamkan pemberontakan. Tahun 1640 tercatat raja Bengkulu di tahan ke Banten disusul oleh pimpinan pemberontakan di Lampung dan Syahbandar Silebar diganti.

Di mana tepatnya letak Kerajaan Sungai Serut ini ? Abdullah Siddik menjelaskan bahwa berdasarkan naskah Melayu terletak di Muara Sungai Serut yaitu mudik Kualo air (sungai) Bengkulu sekarang di sebelah kanan yang disebut Bengkulu Tinggi. Sungai Serut adalah Sungai yang panjang dan lebar memudahkan transportasi ke pedalaman dan membawa hasil hutan ke Muara (Siddik,1996: 2). Hanya saja kemudian untuk melihat dimana sebenarnya Bengkulu tinggi ini menjadi perbedaan pendapat. Agus Setiyanto yang penulis coba hubungi “by Phone” menjelaskan bahwa kerajaan ini memang terletak di Muaro Sungai Bengkulu di Pasar Bengkulu. Hal ini bukan tanpa alasan, karena Sungai dimana pernah berdiri Benteng Inggris di tepinya adalah Sungai yang melintasi Pasar Bengkulu ini. Karena tidak mungkin Inggris mendirikan Benteng (Fort York) di Sungai yang bukan menjadi lalu lintas perdagangan Lada ke pedalaman jika bukan Sungai besar dan jalan utama lalu lintas lada dari pedalaman. Hal ini juga disinnggung oleh Abdullah Sidik bahwa letak Benteng ini berada di dekat Kerajaan Sungai Serut (Siddik, 1996:35)

Dalam hal ini, daerah Pasar Bengkulu pada masa itu merupakan daerah yang telah memainkan perannya dalam perdagangan lada dan dalam perdagangan antar bangsa termasuk dengan Banten.

  • Masa Pendudukan Inggris

Pada awalnya, kehadiran Inggris ke Bengkulu sebenarnya tanpa diduga dan tanpa di prediksi karena tujuan mereka yang utama adalah Pariaman di tanah Minang untuk berdagang. Namun angin berhembus justru mengarahkan kapal Inggris ke Muara Sungai Bengkulu. Bengkulu memang bukan menjadi tujuan Inggris karena mengetahui bahwa posisinya adalah sebagai vasal kesultanan Banten yang pada masa Sultan Haji demikian erat hubungannya dengan Belanda. Kapal Inggris tiba di Bengkulu pada tanggal 24 Juni 1685.

Menurut penuturan Benjamin Bloom, kehadiran Inggris di Bengkulu begitu disambut dengan meriah oleh rakyat Bengkulu. Mereka sangat ramah dan meminta Inggris untuk mendarat ke daratan (Burhan 1988 : 4). Penyambutan Inggris dengan ramah ini bukan tanpa maksud. Karena diharapkan perdagangan dengan Inggris lebih menguntungkan rakyat Bengkulu dibandingkan dengan Belanda walaupun hal ini harus menentang Banten sebagai kesultanan yang menjadi atasan kerajaan Bengkulu.

Akhirnya dengan perundingan bersama dengan Orang Kaya Lela dan Pangeran Raja Muda, Inggris diminta untuk tinggal menetap di Bengkulu untuk menjalankan perdagangan dengan masyarakat Bengkulu. Demikianlah Inggris kemudian mendirikan sebuah Benteng di tepi Sungai Bengkulu yang diberi nama Benteng York (Fort York). Karena adanya Benteng Inggris ini maka daerah sekitarnya menjadi ramai dan menjadi pusat perdagangan yang sangat menjanjikan. Namun kondisi ini sempat sedikit terusik karena pada bulan Desember 1965, muncul tiga buah kapal Belanda dengan 300 pasukannya. Pasukan ini membawa Jenang Ki Aria Sutra untuk memperlihatkan kekuasaan Banten atas tanah Bengkulu. Jelas Banten ingin mengusir Inggris dari sana. Namun maksud dan tujuan Jenang ini tidak tercapai karena tidak mendapat sokongan penuh dari rakyat Bengkulu serta tentara Belanda yang dibawanya tidak siap jika harus bertempur dengan Inggris. Setelah kejadian ini tidak ada lagi Jenang dari Banten yang dikirim ke Bengkulu.

Dari Markas Inggris di Fort York inilah, maka Inggris memainkan perannya dalam perdagangan. Tercatat pos-pos dagang EIC dibuka dibanyak tempat seperti di Triamang (1695), Ketahun dan Seblat (1697) dan di Bantal (1700) serta Seluma (1706). Dilanjutkan dengan kerjasama dengan Krue dan Manna di Selatan  dan Mejunto di Utara (Siddik, 1996 : 39). Pada tahun 1712 bandar kecil Bengkulu sudah sangat ramai. Perkampungan orang-orang melayu terbentuk dengan 700- 800 rumah berdiri berdampingan dengan Fort York di tepi sungai Bengkulu. Di tepi Pantai terdapat sebuah perkampungan tempat kediaman Budak negro kompeni yang dibawa dari madagaskar. Di dataran rendah, terbentang tanah sawah yang ditanami padi oleh penduduk sekitar. Sedangkan di sekitar Fort York terdapat tanah lapang yang diselingi bukit-bukit kecil yang menghijhau (Siddik, 1996: 41)

Namun, sikap Inggris yang semena-mena dengan membunuh Pangeran Nata Diraja dari Selebar pada 4 November 1710 menyulut kebencian yang mendalam masyarakat Bengkulu terhadapo Inggris yang nantinya berujung pada penyerbuan Benteng Marlborough 1719.

Dengan semakin bertambah ramainya perdagangan dan pemukiman, maka pada tahun 1701 Inggris sudah merasakan bahwa Fort York tidak strategis untuk dijadikan tempat pertahanan serta tidak sehat daerah sekelilingnya. Dalam surat-surat Inggris yang dikumpulkan oleh Firdaus Burhan, nampak banyak tentara Inggris yang mati karena kondisi tidak sehat ini. Hal ini kemungkinan berasal dari rawa-rawa Bengkulu yang menjadi sarang nyamuk sehingga menyebabkan Malaria dan demam berdarah. Maka ditetapkanlah Ujung Karang sebagai perbentengan Inggris yang baru. Proyek pembuatan Benteng ini dimulai sejak tahun 1714 dengan diberi nama Fort Marlborough. (Dalip, 1991:21) Posisinya kini berada di dekat Kampung Cina dan dengan gagah menantang Samudera Hindia.

Tahun 1719 Benteng kokoh dengan dinding depan dua lapis ini berhasil berdiri. Namun penyerbuan rakyat Bengkulu pada tahun yang sama menegaskan bahwa sekokoh-kokohnya Benteng, masih tetap kokoh perjuangan di hati rakyat Bengkulu yang tak sudi untuk diperlakukan secara semena-mena. Penyerbuan ini membuat Inggris kocar-kacir dan untuk sementara meninggalkan Bengkulu.

Fort York pada saat ini kondisinya begitu mengenaskan. Di atasnya telah berdiri Kantor Urusan Agama dan Sebuah sekolah (SD N57 Pasar Bengkulu). Tidak lagi ada kesan bahwa tempat ini dulunya adalah sebuah Benteng Inggris yang memainkan peran signifikan dalam perdagangan rempah. Bahkan banyak orang Bengkulu yang berpendidikan pun tak pernah mendengar nama Fort York. Demikianlah, seiring dengan mengenaskannya kondisi Fort York pada saat ini, demikian pula mengenaskan kesadaran sejarah Masyarakat Bengkulu.

  • Masa Pergerakan Nasional

Memasuki abad ke 20, Indonesia memasuki fase penjajahan baru (meminjam istilah Ricklefs). Kebijakan kolonial Belanda memiliki tujuan baru dimana eksploitasi terhadap sumber daa Alam dan sumbe daya manusianya mulai kurang dijadikan sebagai alasan utama kekuasaan Belanda dan digantikan dengan keprihatinan akan kesejahteraan bangsa Indonesia. Kebijakan baru pun digelontorkan yang dinamakan dengan kebijakan politik Etis, yang berakar pada rasa kemanusiaan sekaligus pada keuntungan ekonomi  (Ricklefs, 2001: 319). Kebijakan ini terfokus pada tiga bidang yaitu Edukasi (Pendidikan), Irigasi (Pengairan) dan Emigrasi (perpindahan Penduduk). Namun yang paling menonjol dari kebijakan ini adalah dalam hal Edukasi (pendidikan).

Mulailah Pemerintah Hindia – Belanda membuat sekolah-sekolah yang hanya bisa dimasuki oleh kaum Bangsawan walaupun spektrumnya lebih luas dari sebelumnya. Kemudian mulai diikuti dengan hadirnya sekolah-sekolah untuk masyarakat desa seperti Sekolah Ongko Siji dan Ongko loro. Dengan adanya pendidikan ini akhirnya menciptakan golongan elite baru yang menjadi bahan baku dalam pergerakan nasional Indonesia, menggeser peran kaum elite yang didapat dari keturunan (priyayi). Elite yang dihasilkan dari pendidikan kolonial inilah yang kemudian memunculkan golongan nasionalis- sekuler dan sebagian menjadi nasionalis- islamis. Kehadiran Budi Utomo pada tahun 1908 menjadi bukti tentang hal ini. Untuk lebih mendalam pembaca kami sarankan untuk membaca buku Robert Van Niel berjudul Munculnya Elite Modern Indonesia.

Selain itu, Islam mendapatkan ruh segar dalam gerakan modernisme yang melanda Timur Tengah dan gaungnya sampai pula ke Indonesia. Organisasi Islam pun berdiri menandakan jaman baru Islam yang lepas dari kekolotan, ditandai dengan munculnya Sarekat Islam pada tahun 1912 yang menitikberatkan pada bidang politik dan ekonomi, Muhammadiyah yang mendapatkan spirit dari modernisme Abduh dan Ridha di Mesir serta diikuti dengan organisasi-organisasi Islam lainnya.

Adalah seorang Kiai Haji Ahmad Dahlan yang melakukan eksperimen-eksperimen dalam pendidikan Islam di Indonesia. Berangkat dari kekhawatiran Dahlan dengan adanya sekulerisme pendidikan di satu sisi dan kekolotan pendidikan islam di satu sisi yang lain membuat ia akhirnya mensitesakan dua jenis pendidikan tersebut. Percobaannya berhasil walau mendapatkan banyak tentangan dari kaum tradisionalis-islamis. Melalui gerakan Muhammadiyahnya, pendidikan Islam yang digagas Dahlan berkembang dengan hebat di seluruh nusantara. Tercatat hingga tahun 1930an, hanya Muhammadiyah yang sifatnya menusantara dengan satu-satunya organisasi yang melakukan kongres di luar tanah Jawa (Arifin : 2016).

Gelombang pembaharuan Islam itu ditangkap oleh orang-orang Minangkabau di Pulau Sumatera dan mengembangkannya dengan sangat baik. Penerimaan terhadap Muhammadiyah berjalan demikian cepat karena sebelum hadirnya Muhammadiyah, Kaum muda minangkabau telah melalui jalan sejarah yang berliku. Mulai dari munculnya thawalib, PERMI hingga pemberontakan komunis yang berhasil menyusup ke Sumatera Thawalib. Kesamaan pandangan membuat Muhammadiyah “laris manis” di tanah Minang apalagi tokoh pembaharuan Minangkabau seperti Haji Rasul dan syaikh Djamil Djambek mendukung penuh Muhammadiyah.

Semangat kaum muda minangkabau inilah yang dibawa ke Bengkulu dan ditangkap oleh masyarakat Bengkulu. Tercatat pada tahun 1915 gerakan modernisme masuk ke Bengkulu dibawa oleh seorang pedagang dari Minangkabau bernama Haji Ahmad (Salim & Hardiansyah, 2016: 91). Namun yang perlu pula dicatat bahwa pada tahun 1915, Bengkulu telah mengirimkan utusan Sarekat islam dalam kongres di Surabaya dengan ketuanya adalah Haji Muhammad (Korver, 1985 : 39). Gerakan modernisme Islam mulai banyak berkembang ketika memasuki tahun 1923. Kemudian para perantau Minang ini membuat sebuah kelompok pengajian bernama Muhibul Ihsan yang akhirnya melebur dalam Muhammadiyah Bengkulu pada tahun 1928 (Salim dan Hardiansyah, 2016: 92).

Alfian mencatat bahwa pengaruh kaum muda begitu kuat menjalar dalam kaum modernis Bengkulu. Tercatat bahwa Yunus Jamaludin selaku konsul pertama Muhammadiyah Bengkulu begitu terpengaruh oleh gerakan Kaum muda ini. Residen Groeneveldt begitu mewaspadai gerakan kaum Muda ini yang menyuntikkan “radikalisasi” dalam Muhammadiyah Sumatera khususnya Bengkulu, sehingga beberapa kali Haji Muchtar harus datang ke Bengkulu dari Yogya untuk lebih “melembutkan” gerakan Muhammadiyah agar tidak frontal dengan pemerintah (Alfian, 1989 : 247-305).

Ada setidaknya dua versi tentang tempat masuknya Muhammadiyah ke Bengkulu. Yang pertama adalah langsung berada di Kebun Ross, namun yang kedua adalah di Pasar Bengkulu terlebih dahulu baru pindah ke kebun Ross. Versi kedua menyebutkan bahwa Muhammadiyah tiba terlebih dahulu di Pasar Bengkulu. Namun di daerah ini ketegangan antara Muhammadiyah dengan kaum tradisionalis membuat Muhammadiyah tidak diterima dengan baik. Pertentangan kerap terjadi. Ali Chanafiah mencatat sampai beberapa tahun sebelum Bung Karno dibuang ke Bengkulu, sering terjadi bakar membakar sampan antara kaum Muda (Muhammadiyah) dan kaum tua tradisionalis (Chanafiah : 2004). Akhirnya Muhammadiyah mendapat tanah wakaf di kebun ross dan pindahlah pusat kegiatan Muhammadiyah Bengkulu ke sana. Tokoh Muhammadiyah dari pasar Bengkulu sangat banyak namun tokoh yang sampai saat ini dikenang dengan warga muhammadiyah Pasar Bengkulu adalah Datuk Yahya Pasar Bengkulu (Wawancara dengan Cik Din, Imam Masjid Muhammadiyah Mardhatillah pasar Bengkulu, bulan agustus 2016).

Saat ini di Pasar Bengkulu sendiri terdapat dua masjid yang saling berdekatan yaitu masjid Mujahidin yang dipegang oleh kaum tua (tradisionalis) dimana ayah penulis sering melakukan sholat di sini. Masjid kedua adalah Mardhatillah yang dikelola oleh Muhammadiyah dan menjadi Muhammadiyah Cabang I. Jika dulu golongan Muhammadiyah dan kaum tua sering terjadi percekcokan, seiring berjalannya waktu pertentangan itu berganti pada saling menghargai dan menghormati. Malah warga dua ajaran Islam ini terkadang ada di dalam satu rumah. Ayahnya pengikut kaum tua sedangkan anaknya pengikut kaum muda. Imam masjid Mujahidin, Bapak Sulistiyono sendiri tidak terlalu rigid dalam menerapkan ajaran. Sering pula ia mengikuti tabligh musibah yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan warga Muhammadiyah ada juga yang ikut tahlilan kematian warga.

  • Masa Revolusi Kemerdekaan

Pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 agustus 1945, babak baru kehidupan bangsa pun digulirkan. Kembalinya Belanda untuk menjajah indonesia dengan membonceng tentara sekutu disambut dengan gagah berani segenap rakyat Indonesia yang telah muak dengan penjajahan. Revolusi menjalar dihampir setiap daerah di Indonesia. Kisah paling heroik diukir oleh pejuang Surabaya, Bandung maupun Medan. Bengkulu pun tidak ketinggalan dengan kisah-kisah heroik para pejuang kemerdekaan. Sayangnya lagi-lagi kita tidak terlalu mengingat dan tak mau mengingat kisah-kisah tersebut sehingga jadilah kita sebagai daerah yang “amnesia” dengan sejarahnya.

Pasar Bengkulu kembali mencatatkan satu kisah perjuangan para pejuang Bengkulu dalam menghadapi penjajahan. Pos Penjaga Keamanan Rakyat (PKR) didirikan di sekolah Muhammadiyah di Pasar Bengkulu dan terkenal dengan kisah penyergapan tiga orang Inggris di jembatan Pasar Bengkulu. Penyergapan tersebut bermula dari sebuah sedan biru yang meluncur dari Lubuk Linggau. Di kota Curup sedan itu ditahan dengan ketiga penumpangnya adalah orang – orang kulit putih. Namun  sedan itu lalu diizinkan untulk lewat dan PKR Curup menelpon PKR Bengkulu. Setelah itu diadakanlah rapat di Pondok Besi yang merupakan markas PKR. Berdasarkan laporan ketiga orang itu adalah orang – orang Inggris. Ketiga orang itu adalah Trevooro seorang bekas employe pada tambang emas MMS di Lebong Tandai, Kapten Smith anggota pasukan Inggris dan Kkapten Dr. Mycree yang juga anggota pasukan inggris. Tujuan mereka pun diketahui akan pergi menuju Lebong Tandai. Tanggal 5 November 1945 penyergapan itu dilakukan di jembatan pasar Bengkulu. Dari mobil mereka didapat senjata api dan dokumen – dokumen yang kemudian disita. Pangkal pembunuhan ketiga orang Inggris ini saat salah satu dari mereka menodongkan pistolnya pada M Syafei sedangkan di belakangnya terdapat M. daud seorang anggota PKR. Refleks kemudian Syafei berkata pada Daud “ Mana tombak”. Sedangkan banyak orang yang mengepung di sana seolah mendengar aba – aba untuk menyerbu ketiga orang Inggris tersebut. Alhasil ketiganya pun tewas. Peristiwa ini berbuntut panjang, Jepang meminta pembunuh ketiga orang Inggris itu menyerahkan diri dan barang – barang yang disita dikembalikan dengan desakan dari Inggris. Namun rakyat menolak. Hingga akhirnya pada tanggal 10 November 1945 dua buah kapal perang Inggris berlabuh di Pelabuhan Bengkulu (dekat Benteng Marlborough sebagai pelabuhan lama). Hal ini dianggap sebagai ultimatum Inggris. Akhirnya dokumen yang disita dan senjata api dikembalikan sedangkan untuk pembunuhnya akan dicari. Hal ini adalah tak tik agar Inggris tidak membombardir Bengkulu.

Saat ini di bawah jembatan pasar Bengkulu, tegak sebuah monumen untuk mengenang perjuangan masyarakat Bengkulu. Jembatan bersejarah itu sendiri telah roboh karena banjir besar yang dulu pernah melanda Pasar Bengkulu. Namun kemudian Gubernur Bengkulu, Agusrin M Najamudin mendirikan Jembatan baru di posisi jembatan lama yang roboh tersebut. Saat ini jembatan baru pasar Bengkulu menjadi tempat kawula muda untuk menghabiskan waktu sorenya dengan berjalan-jalan.

***

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.