Bengkulu – Di tengah tingginya penggunaan media sosial oleh anak-anak saat ini, pemerintah sedang menggodok regulasi pembatasan usia untuk platform digital. Disamping itu, harapannya juga pemerintah perlu hadir secara lebih menyeluruh melalui kebijakan edukatif yang mampu membekali anak dan keluarga dengan keterampilan digital.
Salah satu di antaranya melalui kurikulum edukasi digital sejak dini. Literasi digital tidak hanya tentang kemampuan teknis menggunakan perangkat, tetapi juga mencakup kesadaran etis, perlindungan data pribadi, serta kecakapan memilah informasi dan mengelola waktu layar.
Pentingnya Literasi Digital Anak dan Keluarga
Literasi digital bukan hanya tentang kemampuan teknis menggunakan gawai, tetapi juga melibatkan pemahaman kritis terhadap konten, etika bermedia sosial, keamanan data pribadi, hingga pengendalian waktu layar.
Dalam konteks anak-anak, peran keluarga sangat vital sebagai lingkungan pertama pembentuk kebiasaan digital. Karenanya, kita membutuhkan kebijakan yang terstandar dan tersistemik dalam satuan pendidikan, untuk literasi digital anak dan keluarga sebagai upaya membangun ekosistem digital yang sehat.
Kebijakan ini dapat melibatkan kementerian terkait (seperti Kementerian Kominfo, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian PPPA), dunia pendidikan, media, komunitas, serta tokoh publik dan influencer. Tujuannya tidak sekadar menumbuhkan kesadaran, tetapi juga membangun budaya digital yang aman, etis, dan produktif di lingkungan keluarga.
Integrasi Koding dan AI dalam Kurikulum Sekolah
Februari 2025 telah hadir Naskah Akademik Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial Pendidikan Dasar dan Menengah oleh Kemendikdasmen. Namun kurikulum ini masih bersifat opsional untuk satuan pendidikan.
Meski demikian, materi koding dan kecerdasan artifisial (AI) menjadi bagian yang harus masuk ke dalam kurikulum edukasi digital juga. Sebagaimana pedoman NA, koding pembelajaran ini bukan tren sesaat, melainkan menjadi kebutuhan fundamental untuk membekali generasi muda dengan keterampilan masa depan.
Integrasi tersebut tertuang dimulai dengan menjadikan koding dan AI sebagai mata pelajaran pilihan di SD kelas 5–6, SMP, hingga SMA/SMK, disertai alokasi waktu yang memadai. Materi yang diajarkan meliputi dasar-dasar pemrograman, algoritma, berpikir komputasional, serta etika penggunaan AI dan teknologi digital. Sasaran lain yang diharapkan adalah keterampilan seperti berpikir kritis, kolaborasi, dan penyelesaian masalah juga akan tumbuh seiring dengan pembelajaran teknologi.
Namun, integrasi ini tidak bisa dilakukan tanpa kesiapan guru dan infrastruktur. Oleh karena itu, pemerintah perlu menggelar pelatihan intensif dan sertifikasi bagi
guru. Mengembangkan bahan ajar serta platform pembelajaran daring, serta mendorong kolaborasi multi-stakeholder antara sekolah, industri teknologi, satuan pendidikan, dan masyarakat sipil.
Materi Edukasi Digital dan Teknologi Anak
Dalam pendidikan formal, integrasi literasi digital ke dalam materi ajar menjadi kunci utama. Pemerintah perlu menghadirkan modul-modul pembelajaran yang tidak hanya mengajarkan keterampilan digital dasar, tetapi juga memperkenalkan koding dan kecerdasan artifisial (AI) secara bertahap. Kurikulum ini harus mengajarkan prinsip berpikir komputasional, etika penggunaan teknologi, serta kesadaran terhadap risiko digital seperti hoaks dan perundungan siber.
Pemerintah dapat memulai dengan menjadikan koding dan AI sebagai mata pelajaran pilihan mulai dari SD kelas 5–6, SMP kelas 7–9, dan SMA/SMK kelas 10–12, seperti diusulkan dalam panduan kebijakan Kementerian. Alokasi waktu 2–5 jam pelajaran per minggu disesuaikan dengan jenjang, serta disertai fleksibilitas pengembangan melalui ekstrakurikuler atau integrasi dalam mata pelajaran lain.
Selain itu, penguatan kapasitas guru menjadi syarat mutlak, baik melalui pelatihan intensif, pengembangan bahan ajar, maupun penyediaan LMS (Learning Management System) yang dapat menjangkau seluruh wilayah. Kemitraan antara sekolah dan komunitas menjadi penting agar kurikulum tidak hanya berbasis teori, tetapi juga aplikatif dan sesuai perkembangan zaman.
Media Massa dan Influencer yang Ramah Anak
Di luar sekolah, pengaruh media dan figur publik dalam membentuk perilaku digital anak sangat besar. Oleh karena itu, materi edukasi digital juga harus menjangkau ruang-ruang nonformal yang sering diakses anak dan remaja, seperti YouTube, TikTok, Instagram, maupun platform video streaming dan televisi.
Saat ini, banyak influencer dan kreator yang memproduksi konten belum sesuai dengan tahapan perkembangan anak, mengandung nilai-nilai konsumtif, atau bahkan menormalisasi perilaku yang kurang pantas. Situasi ini menuntut kehadiran pemerintah tidak hanya dalam bentuk aturan pembatasan, tetapi juga lewat penyediaan alternatif konten edukatif yang menarik, aman, dan sesuai kebutuhan anak dan remaja.
Pemerintah bersama Kominfo dan KPI perlu menggandeng media massa dan para kreator konten untuk menghadirkan narasi edukatif yang ramah anak. Konten seperti video animasi, komik digital, podcast, dan serial mini yang menyajikan tema keamanan digital, etika berinternet, hingga pemanfaatan AI secara positif dapat menjadi bagian dari kampanye publik yang menyenangkan sekaligus mendidik.
Karenanya, penting untuk menghadirkan pedoman etik bagi influencer yang memiliki audiens usia anak, guna memastikan bahwa pesan-pesan yang disampaikan mendukung tumbuh kembang anak dan tidak mengandung unsur manipulatif, komersial yang berlebihan, atau eksposur terhadap konten tak layak. Model kolaboratif ini akan memperkuat ekosistem literasi digital nasional yang menyeluruh.
Masa depan anak-anak Indonesia di era digital sangat ditentukan oleh keputusan kebijakan hari ini. Pembatasan media sosial berdasarkan usia adalah langkah awal yang perlu didukung. Namun, negara juga harus membangun sistem yang lebih menyeluruh dan berjangka panjang melalui kurikulum edukasi digital yang terintegrasi di sekolah dan rumah.
Oleh: Tati, S.Pd., MPA. (Alumni Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, dan Pegiat Manajemen Publik)