Bengkulu, Intersisinews.com : Melalui Hari Anti Tambang (HATAM) pada 29 Mei ini, diperingati sebagai aksi penolakan terhadap seluruh bentuk aktivitas pertambangan yang daya rusaknya mengancam keselamatan rakyat serta ruang hidupnya.
Hatam yang diperingati mulai dari skala nasional hingga ke daerah-daerah, termasuk di Bengkulu, kali ini dengan mengambil tema ditambang, bencana dating, bertujuan menggungat negara yang diduga abai dengan membiarkan pertambangan kian hari kian masif.
“Tema tersebut mewakili kondisi Bengkulu yang ditimpa banjir dan longsor pada 27 April yang lalu, yang menyebabkan 25 jiwa meninggal, 6 hilang dan 12.000 jiwa mengungsi, serta kerugian materil yang harus ditanggung sebesar 144 miliar rupiah. Bahkan tercatat ada 43 IUP pertambangan mengkapling seluas 220.753 hektar wilayah daratan provinsi Bengkulu. Luasan ini sama dengan 3X luas negara Singapura. Operasi 10 perusahaan mengancam seluas 97.555 hektar kawasan hutan, 1,5 x lebih luas dari Jakarta. Lalu perusahaan-perusahaan pertambangan juga meninggalkan 103 lubang tambang di Provinsi Bengkulu dan diduga tidak melakukan kewajiban reklamasi dan pasca tambang,” ungkap Juru bicara Koalisi Langit Biru yang juga direktur Genesis Bengkulu, Uli Arta Siagian, dalam siaran persnya.
Hal yang sama juga dikatakan Anggota Koalisi Edy Prayekno, penolakan atas pemakaian batubara sebagai sumber energy. Dimana batubara disepanajang perjalanannya, mulai dari pengerukan hingga pembakaran menghasilkan daya rusak, banjir dan longsor, adalah salah satu bukti bencana ekologis tersebut.
Bahkan diperkirakan, dampak kerusakan ekologis akan semakin parah seiring pembangunan PLTU batubara Teluk Sepang 2×100 MW. Lantaran kebutuhan batu bara 2.732,4 ton/hari akan dikeruk dari dalam perut bumi Bengkulu.
“Melihat kebutuhan bahan bakar PLTU per hari ribuan ton, berapa banyak wilayah akan dikeruk dan diambil emas hitamnya,” terangnya.
Disamping itu, anggota koalisi yang merupakan juru kampanye energi Kanopi Bengkulu, Olan Sahayu menyebutkan, bencana banjir di Bengkulu ini adalah akumulasi dari daya rusak pertambangan.
Untuk itu menyikapinya sudah sepatutnya pemerintah menyelesaikan secara komprehensif, mulai dari mengevaluasi izin – izin pertambangan, moratorium izin, dan menindak tegas pertambangan yang melakukan pelanggaran.
“Kementerian ESDM termasuk ESDM Provinsi merupakan salah satu simpul birokrasi yang penting dalam pelanggengan daya rusak dari tambang tersebut. Instansi yang menyediakan perangkat kebijakan dan perizinan yang diterbitkan baik oleh pemerintah pusat maupun provinsi. Maka secara nasional desakan untuk HATAM 2019 ini adalah “Bekukan ESDM,” jelasnya yang juga ditegaskan kembali oleh Meike Inda Erlina selaku pengkampanye WALHI Bengkulu.
Sementara tuntutan Koalisi Langit Biru yang menggelar aksi di Simpang Lima Ratu samban Kota Bengkulu pada Rabu, (29/5/2019), mendesak Gubernur, untuk segera melakukan evaluasi terhadap perizinan tambang yang ada saat ini, terutama di hulu DAS Air Bengkulu dan hulu DAS lainnya.
Kemudian, hutan Bukit Barisan Bengkulu tidak dialokasikan untuk izin-izin pertambangan. Termasuk, pemerintah harus memastikan dan mendesak perusahaan untuk melakukan reklamasi dan pascatambang.