Punya Anak Perempuan Seperti Punya Warung

“Min, sekarang aku ingin anak perempuan, aku sudah bosan punya dua anak laki-laki,” kata Jalu sambil membelai-belai perut Mimin, isterinya yang sedang hamil.

 

Mimin yang sedang menjahit pakaian yang dipesan tetangganya itu menghentikan kegiatannya. Meski dalam keadaan hamil, dia kebanjiran order, dan dia telus mengerjakannya. Lumayan menambah penghasilan, daripada mengandalkan hasil ngojek suaminya yang hasilnya tak seberapa, kadang juga tak membawa hasil.
“Kenapa?” tanya Mimin sambil mematikan stroom mesin jahit.
Jalu tidak menjawab. Dia terus membelai perut Mimin yang menggelembung seolah sedang bercakap dengan jabang bayi yang menghuni di dalamnya. Pikiran Jalu masih terpaut pada kata-kata mang Dasim ketika ngobrol di warung mang Kardi tadi pagi saat menunggu penumpang.
“Sekarang kalau punya anak mendingan perempuan. Punya anak perempuan, berarti nantinya kita punya warung,” kata mang Dasim.
Jalu yang hendak minum kopi meletakkan kembali gelasnya di atas meja. “Kenapa?” tanyanya penasaran.
“Kalau sudah menjadi gadis, tiap malam minggu pemuda-pemuda datang. Apel! Biasanya kan mereka bawa makanan. Sekeluarga kebagian. Aku juga biasanya dapat jatah rokok barang sebungkus atau dua bungkus. Jadi, beberapa hari aku tak perlu beli rokok. Nah, rokok yang kau hisap itu adalah rokok pemberian dari pacar anakku.
“Tapi tidak semua pemuda itu punya duit kan?”
“Kalau sudah tak berduit, suruh putusin saja. Gampang! Gonta-ganti pacar nggak apa-apa.”
Di sini orang tua harus berperan. Kita harus pandai mencarikan orang kaya. biasanya royal dalam urusan perempuan. Seperti anak tetanggaku. Konon sekarang sudah tunangan. Pengikatnya adalah cincin yang bisa membeli satu hektar tanah dan sepasang kerbau. Bagaimana tidak senang? Ayahnya, haji Dulah, disebut-sebut sebagai calon orang kaya baru di kampung ini.
Mang Dasim menghisap rokok dengan nikmat sekali dan tanpa beban.
“Apalagi kalau anaknya cantik, akan jadi rebutan!

 

“Tapi kasihan calon suaminya itu setua haji Dulah, dan konon, dijadikan isteri ketiga.”
“Masalah tua atau muda, atau dijadikan isteri ke berapa, itu urusan lain. Kalu suaminya mati, nanti dapat warisan. Yang penting orang tua makmur.”
“Bagaimana kalau anaknya tidak mau?”
“Kita paksa saja sampai dia mau. Memaksa itu tidak selamanya jelek. Kita para orang tua lebih tahu dan berpengalaman. Lagi pula itu untuk kesenangan masa depan anak kita juga.
Jalu mengangguk-angguk. “Tapi bukankah anak perempuan itu banyak memerlukan uang, untuk dandan. Misalnya beli lipstik, bedak atau pakaian yang bagus-bagus?”
“Memang. Tapi itu sebentar. Perempuan itu cepat dewasa, tidak seperti anak laki-laki. Selepas sekolah, tunggu saja beberapa tahun, nanti juga ada jodohnya. Kita cuma modal bedak dan lipstik supaya dia mau dandan. Selain itu, keringanannya punya anak perempuan bisa dihitung berdasar agama. Aqiqahnya, cuma satu ekor kambing atau domba. Kalau laki-laki harus dua! Dan nanti kalau saat pembagian warisan, dia hanya kebagian setengah dari laki-laki.
Jalu baru mendengar penejelasan seperti itu.
Selain itu, sekarang lapangan kerja buat perempuan itu banyak sekali. Pabrik-pabrik garmen buka lowongan kerja ribuan hanya untuk perempuan. Kamu lihat satpam sekarang ada anak perempuan, bahkan di SPBU.
Katanya gaji perempuan itu lebih rendah dari  laki-laki. Lagi pula perempuan tak pernah demo. Dan mereka ulet dan mudah diatur. Kalaupun sekolahnya rendah, dia bisa menjadi TKW ke luar negeri. Atau sederhannya dia menjadi pembantu rumah tangga di kota-kota besar. Banyak makelar-makelar yang datang ke kampung kita. Coba perhatikan saja mang Karta, dia enak saja di rumah. Isterinya jadi TKW di Arab Saudi. atau si Juned yang kerjanya mengantar anak-anak sekolah. yang membiayai ya isterinya dari saudi. Padahal aku tahu kalau malam hari dia ada main dengan janda tetangga sebelah.

 

Jalu mengangguk-anggukkan kepala.
Begitulah cara pandang meraka terhadap perempuan. Kalau pada masa jahiliyah orang Arab tak menginginkan anak perempuan karena mereka tak bisa perang, tapi di sini sebaliknya. Perempuan itu diharap kelahirannya. Karena punya anak perempuan berarti punya tambang emas. Perbedaannya kalau jaman jahiliyah ketidakhadirannya karena tidak bisa perang, di sini kehadirannya untuk diperas dan dimanfaatkan. beda tipis.
“Kenapa kang, kok melamun?” Kata Mimin karena Jalu kelihatan melamun.
Min, aku ingin anak perempuan. Tadi malam aku bermimpi anak yang terlahir itu adalah perempuan. Cantik sekali. Persis seperti yang kita inginkan. Aku telah mempersiapkan nama untuknya. Kalau punya anak perempuan, kita punya warung.
Anak itu, laki-laki atau perempuan sama saja. Sama-sama titipan tuhan. Harus dipelihara dan dididik dengan baik-baik.
Tidak! Punya anak laki-laki itu benalu. Pendidikannya harus tinggi. Setelah lulus, belum tentu dapat kerja. Ini repot. Belum lagi kalau dia minta kawin. Dia akan masin tergantung pada orang tuanya.
Mimin mengerenyitkan dahi.

 

***

 

Ternyata anak yang lahir itu adalah laki-laki. Beberapa hari Jalu kelihatan murung. Kerjaannya uring-uringan. Warung yang ditunggunya tidak datang.

 

Min, aku ingin anak perempuan. Kamu harus cepat hamil kembali,” begitu kata Jalu setelah 40 hari Mimin masa nifasnya selesai.
Mimin terdiam. Dia tak habis pikir dengan keinginan Jalu. Tapi Mimin tak bisa menolak, karena Jalu pasti membentak. Beberapa bulan kemudian, Mimin hamil kembali. Tapi ketika anal itu lahir, ternyata laki-laki. Jalu makin jengkel saja. Dia langsung minta Mimin untuk hamil kembali. Mimin sudah pasrah saja akan kelakuan makhluk yang diberi nama suami itu. Dia sebenarnya ingin menunda melahirkan. Capek sekali rasanya. Dari perutnya telah keluar empat manusia. Melahirkan itu bukan masalah gampang. Nyawa jadi taruhannya. Antara hidup dan mati itu sangat tipis jaraknya. Atau bahkan mungkin tidak berjarak. Tentu saja Jalu tak pernah tahu dan tak mau tahu apa yang dirasakannya. Sementara Mimin harus bekerja membantu suaminya menghidupi keluarga. Tapi dia tak punya pilihan karena jalu memaksanya untuk cepat hamil kembali. Dan, kalau bisa punya anak perempuan. Kalau tidak punya anak perempuan, jalu akan menikah lagi denga perempuan lain. Sempat juga dia diancam akan dimadu kalau tidak punya anak perempuan. dan dia menangis setelah tahu ada misi yang tak jelas bila anknya lahir. kalau mau dimadu boleh, kalau tidak mau, ya berarti cerai saja.
siapa yang bisa menentukan kelahiran jenis kelamin seseorang. bahkan dokter yang palin genius pun dan alt tercanggih pun. ilu kedokteran cuma bisa menebak apakah dalam perut itu adalah jenis kelamin laki-laki atau perempuan. dan itu pun bisa saja salah. akhirnya isterinya itu pun menyerah. dia terpaksa harus hamil lagi, dan kemudian mesti melahirkan dengan sakitnya setengah mati.
Untuk mencapai cita-citanya, Jalu diam-diam bertanya kepada tetangga-tetangga bagaimana cara-cara supaya mendapat anak perempuan. tidak puas keterangan dari tetangga, dia bertanya pada paraji, kiai dan bahkan dukun. Doa-doa, mantera-mantera, tirakat dan bahkan puasa lakukan. Sampai cara senggama dia tanyakan. dia pun melakukan shalat malam yaang jaran sekali dia lakukan.

 

Pada saat nujuhbulan, dia tidak meminta kiai untuk membaca surat Yusuf, tetapi surat Maryam. Seolah yakin bahwa bayi yang ada dalam perut isterinya adalah perempuan.
Dan saat-saat mendebarkan itu pun datang. Dia gelisah  seolah murid SD yang mengintip raportnya di akhir tahun pelajaran. Harap-harap cemas, apakah akan naik kelas atau tidak. Dia seperti terdakwa menunggu vonis hakim. Kerjaannya bolak-balik ke kamar itu seperti seekor kucing mengintip peda dia menyaksikan isterinya. proses melahirkan yang paling lama yang dia saksikan. entah berapa kali peraji itu melapalkan mantera. mertuanya telah berkali-kali datang ke kiai setempat supaya minta didoakan. tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. dalam pikirannya berdoa supaya anak itu lahir perempuan. itu saja!
Dan lahirlah bayi itu. betapa sumringahnya dia ketika dikabari bahwa anak itu perempuan. dia seperti anak kecil yang mendapat hadiah sepeda di hari ulang tahunnya. dia tak memperhatikan orang yang paling berjasa dalam proses melahirkan itu: Mimin. seandainya tak dilarang oleh peraji, dia ingin langsung membopongnya seperti Abdul Muthalib mengelilingi ka’bah ketika Muhammad, cucunya lahir. dia ingin mengarak ke kampung dan mengabarkan bahwa anaknya adalah perempuan. dia hampir lupa azan dan iqamah di telinga anak yang nantinya akan membawa warung. Dia ingin berlari sekencang-kencangnya ke rumah mang dasim kemudian berkata, mang, aku punya anak perempuan. aku punya warung. kemudian lari kembali sekencang-kencangnya kembali ke rumahnya. Dia ingin berteriak eureka!
Tetangga-tetangganya mengucapkan selamat.
“Wah, kamu sekarang sebentar lagi punya warung,” kata mang Dasim.
***
Ciputat, Desember 2007
Abdullah Alawi, disadur dari nu.or.id
Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.