Pohon Harap

Pohon Sukun yang tumbuh di sebelah barat rumah, setiap pagi menahanku untuk menyapa mentari. “Fajar belum datang. Mari, menunggunya bersamaku.” Ungkap pohon tua itu.

  • Masa kecil

Semasa kecil, aku suka dengan pohon tinggi. Melihat rindang dan hijau dedaunan membuatku sangat nyaman. Apalagi menatapnya melambai kepadaku, kian hari kami kian akrab bertamu dan menjadikan kedekatan ini seakan absurd. Aku selalu menantinya tertiup angin agar lekas menyapaku. Daunnya berayun-ayun turut mengajakku menari.

Terkadang ia juga bisa sedih dengan berdiam diri saat sore mengantarkanku pulang kerumah. Ia sendirian. Murung menantiku sampai pagi tiba.

Setelah mentari fajar menyapanya, ia sangat bersemangat. Dedaunan yang hijau dengan lengan menjuntai, seakan siap menopang kehadiranku. Sejurus kemudian, aku mengusap akar kaki dan duduk di bahunya.

Sembari memegang buku cerita dan berkisah tentang keinginanku menjadi sesuatu, kulukiskan lewat bingkai kata nan indah. Aku selalu mengajaknya melirik lautan. Dengan cermat aku membayangkan harapan teramat jauh, yang hanya terlihat dari pucuk pohon sukun.

Seusiaku, pohon ini senantiasa bersahabat denganku. Di umurnya yang kian menua, tampak daun-daun menguning dan sesekali melepas diri dari tangkainya.

 

  • Melihat ketinggian

Hampir setiap pagi dan sore setelah pulang sekolah, aku selalu merebahkan diri di pohon tua yang kesepian. Jujur, aku juga kesepian setelah melihat pohon sukun yang ada di halaman rumah hanya tinggal sendiri meratapi usia.

3 bulan lalu, ada pohon rambutan dan pohon kelengkeng yang mulai berbuah, begitu saja ditebang oleh paman. Padahal keduanya adalah tempat bermain dan berkumpulnya udara segar. Hampir tak ada alasan yang keluar dari mulut paman sehingga membuatku sedikit kesal sampai hari ini.

Aku hanya ingat semasa ketiganya saling lambai, meski berbeda, mereka terus mengalirkan kesejukkan di bawah kaki langit. Ah, konsonan yang tak seimbang keluar tiba-tiba. Apakah, ini efek dari dukungan alam merasuk melalui buku-buku yang setiap hari kubaca.

Teringat, saat bosan mulai menggagas, aku hanya bisa berdaulat dengan langit dan meratapi kejauhan laut. Dua biru menyatu dalam satu ruang, dan aku hanya bisa mengaguminya.

“Pantas saja pohon ini suka melambai kepadaku. Ternyata dia mau mengajakku menikmati keindahan alam yang Tuhan suguhkan.” Ucapku dalam hati tatkala melihat gumpal awan berubah jadi tembikar.

“Nak, turunlah dari situ. Hari mau hujan.” Teriakkan menggema memaksaku untuk segera turun. Kulihat Emak mengampiriku.

  • Ingin pergi

Setelah lama aku berdiskusi dengan alam pedesaan, ada kebosanan yang muncul tiba-tiba. Keindahan biru nun jauh di sana, memaksaku untuk berpikir matang, menjejal laman luar.

“Kurasa umurku sudah cukup untuk segera mencoba dunia luar. Ah, apa salahnya kalau aku merantau.”

Sekali lagi, aku menaiki pohon sukun yang lama tak melambaikan dirinya lagi padaku. Seolah-olah ia enggan melepas kepergian ini. Atau usia yang sudah berkata untuk segera redup.

  • Rindu 

Sudah 1 bulan aku pergi dari kampung halaman. Tanda-tanda kedamaian belum juga nampak. Padahal sebelumnya, kejauhan begitu ramai memanggilku.

Nyatanya di kota tidak seramah itu. Begitu pengap, penuh polusi, dan bising. Bisa kuhitung orang yang mau peduli dengan lingkungan. Sampah-sampah terlihat tidak diabai sehingga membuat pelataran taman tak nyaman untuk dibesuk.

Setiap hari aku berjalan menyusuri trotoar perkotaan. Lampu-lampu jalan terlihat seperti hiasan belaka. Pepohonan, mulai habis ditebang karena menghalangi pembangunan infrastruktur.

Kabut-kabut yang terlihat, begitu pekat menghalang, membuat pernapasan mengontaminasi semua sirkulasi diri. Hampir menahan ruang gerakku, namun akhirnya aku tersudut jua.

  • Pohon ditebang

Sembari menanti momen yang pas, akhirnya aku memutuskan diri untuk pulang ke kampung halaman. Udara kota memuakkan sampai aku tak bisa bertahan lama di sini.

Mendengar kabar emak yang selalu mengeluh tidak enak badan, akupun menyempatkan diri untuk menjenguknya. Walau nantinya aku bakal tak akan kembali lagi ke kota. Atau pindah ke tempat yang lebih nyaman dan asri. Setidaknya, ada tempat untuk aku mengadukan nasib, enggan bertakhayul dengan rupa keserakahan manusia yang saja tidak memberi tempat untuk berkolaborasi dengan alam.

  • Gersang

Sesampainya di desa, aku melihat ada yang ganjil di halaman rumahku. Itu sudah terlihat 200 meter dari jalan raya sebelum masuk ke poros rumah.

Pohon sukun tak ada lagi. Ya, kemana pohon sukun yang sudah bertahun-tahun tumbuh menemani teduh rumah kami.

“Ah, apa mungkin paman juga yang menebangnya?” Kataku dalam hati kecewa.

Emak duduk di beranda rumah, terlihat menunggu kepulanganku. Aku segera menyambut tangannyan menyalami.

“Mak, sudah baikkan?” Tanyaku disambut peluk emak. Tubuhnya masih terasa hangat.

Sambil merebah di samping ia duduk, aku bercerita semua tentang apa yang kualami di kota. Mulai dari susahnya mencari tempat tinggal yang bersih, pekerjaan yang sulit kudapat, hingga keramaian dan tidak tertatanya pelataran kota. Sampai kepada pertanyaan, kemana pohon sukun yang tinggal satu-satunya pohon di halaman rumah.

Emak tersenyum sembari mengusap rambut panjangku, “Kau tampak tak terurus, ya. Hm, jangankan mengurus lingkungan, mengurus dirimu saja kamu masih belum bisa.”

“Tapi, Mak,”

“Kenapa. Bukankah pohon sukun itu sudah tua. Berbahaya kalau dibiarkan, kapan saja bisa tumbang. Lagipula buahnya tidak ada lagi.”

Aku tidak menyalahkan sanggahan Emak. Tapi, apa iya harus dengan menebangnya. Tidak kubahas dalam-dalam pernyataan itu, namun kuperhatikan dari tadi, paman tidak juga muncul menyambutku. Apakah ia tidak tahu perihal kepulanganku.

“Mak. Paman mana?”

Emak hanya diam saja. Raut mukanya berubah jadi muram disaat aku menatapnya dalam-dalam.

“Mak?” Tanyaku lagi.

Tersedu-sedu tanpa duga, Emak menjawabnya seketika memelukku erat, “Pamanmu jatuh ketika sedang menebang dahan-dahan yang berada di sisi rumah tetangga,” air matanya tak terasa jatuh ke pipiku.

Aku tidak penasaran bila Emak menangis demikian. Wajar jika tangisnya tidak lagi terbendung, karena sedari kecil, kami hanya tinggal dan hidup bertiga di rumah ini. Ayahku sudah lama meninggalkan kami, semenjak aku masih berumur 3 tahun. Pamanlah yang menetap dan menjaga kami hingga aku bisa sekolah.

“Lalu, mak. Di mana dia sekarang. Di rawat di mana paman, mak?” Tanyaku terus penasaran.

“Pamanmu sudah tiada, nak. Dia jatuh dan tertimpa dahan yang ditebangnya.”

***

M. Bisri Mustofa (Prosais, KMB)

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.