Pancasila yang Kutaruh di Punggung Lemari

Badan-badan koyak itu mulai kering tersengat matahari. Kepulan asap pekat membumbung tinggi meneduhi mayat-mayat yang terkapar. Tepat sehari sebelum kutatap bendera peringatan hari kesaktian pancasila dilaksanakan di lapangan Merdeka. Bersampingan dengan gereja yang kulewati. Aku memang selalu mengikuti upacara sakral ini sebagai simbol penghormatan. Di mana Pancasila dilahirkan bertepatan dengan hari lahirku.

Para jemaat gereja yang tadi kulihat begitu khidmat memuji Tuhannya. Dengan damai, ikhlas, suka cita, namun setelah ledakan itu semuanya jadi sisa-sisa cerita Pancasila di Negeriku.

Anak-anak menjerit pilu. Pemuda hingga renta berhamburan keluar dari kedamaian. Para Pendetapun tidak luput jadi korban serangan orang-orang tak beragama yang secara membabi buta, menghabisi tanpa pandang bulu.

Mataku jelas melihatnya. Seratus meter tepat ketika aku berdiri. Di depan pintu gerbang gereja yang dijaga ketat petugas keamanan. Aku menatap secara seksama ledakan yang tak terduga itu. Semua begitu panik, mencekam, dan menyakitkan. Mengaggetkan sekaligus begitu memprihatinkan. Para anggota keluarga dari korban bom bunuh diri mengerang tangis kehilangan. Dan aku hanya diam polos tak tau harus bagaimana menyikapinya.

Namaku Made, anak dari korban bom Bali III, yang sudah sepuluh tahun hidup menjadi seorang yatim piatu dan hanya tinggal berdua dengan kakak sulungku. Kini, kejadian mengerikan itu terjadi lagi. Masih terbayang di benakku, bagaimana ketika ayah ibu saat itu hancur terberai, koyak, demi melindungiku dari dahsyatnya ledakan bom bunuh diri yang sampai sekarang tak kutahu pasti siapa pelakunya. Terkadang aku menangis jika mengingatnya. Begitu tega orang yang mengatas-namakan agama demi kepentingan tertentu. Jihad katanya. Jalan instan menuju surga. Begitu doktrin-doktrin radikal yang teroris tanamkan pada jiwa-jiwa tak berdosa.

***

Setelah beberapa lama aku menatapi suasana kepanikan ini, akhirnya kuputuskan untuk tidak terlarut dalam kesedihan yang tlah lama ingin kulupakan. Toh mereka tidak akan menyalahkanku jika aku tak ikut berempati. Pun jika aku ikut menangisi mayat-mayat itu, mereka takkan tau apa yang sebenarnya terjadi pada masa laluku. Menangisi bayang-bayang ayah ibu.

Terlihat ambulan, pemadam kebakaran, dan tim gegana mulai berlalu lalang melintasi area ini. Riuh sirine seakan mewakili tangisan pilu. Warga sekitar berhamburan mendekati area gereja untuk melihat apa yang telah terjadi. Repoter pun tak ingin ketinggalan.

Mereka serentak mengambil posisi tepat untuk mengabarkan kejadian langka ini. Dengan bumbu-bumbu opini, mereka begitu jelas menyebut-nyebut bahwa dalang dari segala peristiwa pemboman ini adalah manusia-manusia berjenggot, berbaju gamis, dan para wanita bercadar. Jelas mengatas-namakan Islam sebagai agama yang paling bertanggung jawab di dalamnya.

Namun aku sama sekali tidak setuju dengan pendapat para wartawan yang memberitakan sisi negatif dari dampak terorisme itu. Memojokkan Islam, mendeskriminasikan ajaran damai yang ada pada Islam. Teroris bukan Islam! kataku. Tak sekalipun orang beragama menghalalkan daging orang-orang tak bersalah.

Walau salah pun, kita tahu akan sebuah toleransi yang Tuhan ajarkan. Bukan berkesinambungan mendefinisikan Islam sebagai dalang dari terorisme di Indonesia. Mengintimidasi agama lain dengan opini bias sebagai agama radikal. Biarpun Aku sendiri beragama Budha, namun aku faham betul arti Jihad dan Toleransi. Pembelaan di jalan agama dan kedamaian.

Ah! Sudah sampai mana pembelaan pada khayalan. Apakah harus kuungkapkan tepat berdiri di depan reporter biar semua tau bahwa aku benar-benar berasumsi demikian. Atau biar saja aku bicara sendiri di hadapan tangis korban-korban yang sudah sebagian mati. Umurku yang segini, tak akan mungkin orang mau mendengarkan ocehan-ocehan anak SMP yang masih pasang-surut pikirannya.

Bergegas aku pulang mengurungkan niat awalku melihat persiapan upacara. Tak kuhirau lagi apa yang akan terjadi selanjutnya di tanggal satu mei. Pikiranku galau. Ingin enyah ke dekapan Ayah-Ibu nun jauh di sana. Menceritakan bagaimana kisah lalu terjadi lagi saat ini. Di Bumi Pertiwi, Indonesia.

***

Kubuka lipatan kain lusuh yang sudah lama tak kuhiraukan, tepat di belakang punggung lemari dan tergantung sepi lebih dari beberapa tahun lalu. Benda itu pemberian nenek yang sudah tiga tahun meninggalkan aku dan kak Sita.

Katanya, “Jika terulang lagi kejadian yang telah merenggut nyawa kedua orang tuamu, bukalah bungkusan ini. Kau maknai dengan sepenuh hati isi dari apa yang kau lihat, dalam bungkusan ini, dan yang telah terjadi di sekelilingmu. Apa yang dapat kau ambil dari sebuah toleransi. Dari kedamaian yang nyata. Dan dari dirimu sendiri.” Begitu seingatku nasehat yang nenek sampaikan kala umurku masih 9 tahun. Jelas aku tak faham apa kata nenek waktu itu, selain kenalaranku belum terisi, pun benda yang belum kutahu apa isinya.

Akupun segera membukanya.

Kulihat hanya sebuah foto lama yang bertuliskan Pancasila, lambang dasar negara ini.

Bengkulu, September 2018

M Bisri Mustofa, Prosais Asal Bengkulu

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.