Hilang

Gunung Bungkuk terlihat sangat dekat dan kokoh. Bebatuan besar tersusun menjulang, tinggi dan hitam. Ada perasaan aneh ketika aku memandang susunan bebatuan tersebut, yang akhir membentuk sebuah gunung. Penduduk lokal menyebutkan dengan nama Tebo Bulet, karena bentuknya yang bulat ketika dilihat dari desa-desa mereka. Sepertinya 1 jam lagi kami akan berada di kakinya, dan itu semestinya, 1 jam yang lalu.

Kami tersesat. Jalan yang baru saja dilewati ini, rasanya, telah dilewati sebelum ini. Iya, sangat pasti, karena pohon yang akarnya kami duduki sekarang, sebelumnya telah aku tinggalkan ‘sesuatu’. Khas bau air seni aroma jering yang aku makan sebelum keberangkatan ini.

“Kita berada di pohon yang tadi, iyakan bang?” Tofa, yang jadi rekan ‘petualanganku’ kali ini mengajukan pertanyaan yang tidak ingin aku dengar.

“Sepertinya iya” jawabku enggan.

“Kita istirahat dulu sejenak di sini.” Aku melanjutkan sambil menurunkan tas punggungku yang berat ini. Tofa juga melakukan hal yang sama.

Dengan enggan juga aku membuka tas dan mengambil roti yang sudah aku persiapkan untuk perjalanan kali ini. Menggigit lalu mengunyah kemudian menelannya secara perlahan. Aku berusaha menenangkan hati dan fikiran. Karena cemas akan membawa kami pada arah yang semakin salah.

“Arah mana selanjutnya bang?” Aku pura-pura tidak mendengar.

“Kita istirahat dulu sejenak di sini.”

Dari raut wajah Tofa, terlihat dia berusaha tenang. Karena sebelum perjalanan ini, aku selalu menanamkan supaya tenang, terutama jika menghadapi hal-hal yang tidak dikehendaki. Dari pengalaman, sikap tenang menyelamatkan perjalanan tersebut.

Aku memandang langit. Matahari sudah agak condong ke timur. Paling tidak sekarang sudah jam 2 siang. Aku melirik jam yang ada di pergelangan tangan Tofa, 14.09 wib. Artinya perjalanan ini sudah memakan waktu 2 jam lebih 9 menit, semenjak kami meninggalkan rumah tempat kami meninggalkan motor, di desa terdekat dari Gunung Bungkuk.

Gunung Bungkuk terlihat sangat dekat dan kokoh. Bebatuan besar tersusun menjulang, tinggi dan hitam. Ada perasaan aneh ketika aku memandang susunan bebatuan tersebut, yang akhir membentuk sebuah gunung. Penduduk lokal menyebutkan dengan nama Tebo Bulet, karena bentuknya yang bulat ketika dilihat dari desa-desa mereka. Sepertinya 1 jam lagi kami akan berada di kakinya, dan itu semestinya, 1 jam yang lalu.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan berusaha mengingat jalur yang aku tempuh 5 tahun lalu. Memperhatikan jalan yang telah kami lalui. Sudah sangat jauh berbeda. Jalan ini sekarang sudah banyak persimpangannya dan sudah di lalui dengan kendaraan bermotor yang rodanya sudah dimodifikasi untuk jalan tanah licin yang berbukit-bukit.

Di belakangku terbentang lembah dan bukit-bukit. Terlihat jelas Bukit Kandis dari sini, walau sedikit dihiasi oleh kabut. Setiap bukit sudah tidak ada pohon khas hutan. Sudah digunduli dan diganti dengan tanaman kopi. Aroma kembang kopi menyeruak dari lembah-lembah sekitar.

Tofa tertidur menggunakan tas punggungnya sebagai bantal. Anak muda khas kota. Kelimis, wangi dan rapi. Ditunjang lagi dengan latar belakang keluarga yang di atas rata-rata. Aku sedikit kaget ketika dia memaksa ikut dalam perjalananku kali ini. Ragu apakah dia mampu berjalan dalam jarak yang jauh dengan trek yang liar.

Mampu menyesuaikan diri dengan alam yang serba baru dialami. Sejauh ini belum ada keluhan dari bibirnya yang sedikit merah dibanding bibir laki-laki pada umumnya. Ditambah lagi dengan postur tubuh ideal, dia mestinya jadi idola para wanita di kampusnya, atau di sekitarnya. Padahal kami baru kenal sehari sebelum ada rencana ‘jalan-jalan’ ini.

Melihat cara tidur yang sangat nyaman, aku tidak tega membangunkannya. Aku abaikan saja waktu yang harus kami kejar. Aku ubah target, menjelang maghrib harus sudah sampai pada tujuan.

“Baiklah, istirahat dulu 1 jam di sini. Toh, aku juga sangat ngantuk.” Akupun memutuskan untuk tidur sejenak.

***

Entah sudah berapa lama kami tertidur hingga samar-samar aku mendengar suara seorang laki-laki membangunkan aku.

“Dang, bangun dang…! Bangun…!” Suaranya tegas tapi sangat lembut caranya membangunkan aku.

Dengan sedikit malas aku membuka mataku. Di depanku berdiri seorang anak muda. Berkulit sawo matang dan bersih. Gaya pakaiannya unik.

“Syukurlah dang sudah bangun. Saya khawatir td dang atau adinda itu jatuh ke jurang itu.”

Ketika dia menyebut kata “adinda itu”, matanya mengerling pada Tofa. Aku baru sadar kalau kami tidur tadi di bibir jurang.

“Ayo dang, kita istirahat di pondok saya. Tidak jauh dari sini.” Dia menunjuk ke arah salah satu pondok yang berjejer di antara beberapa pondok. Gaya bicaranya sangat sopan, khas masyarakat kampung. Ke mana saja perhatian kami tadi, sehingga pondok-pondok tersebut tidak terlihat?

Tofa juga terbangun. Melihat aku yang sudah bersiap, diapun buru-buru mempersiapkan diri. Pemuda kampung itu membantu Tofa berdiri.

“Maaf, namamu siapa?” Tanyaku sambil mengikuti langkahnya.

“Rindang, dang. Dang boleh memanggil saya dengan nama itu.” Jawaban yang sangat sopan sambil menyalami aku.

“Ryu” aku menyambut tangannya sambil menyebut namaku.

“Dan adinda siapa nama?” Tangannya menjabat tangan Tofa.

“Tofa.”

Kami sudah sampai di ‘desa’ kecil ini. Aku hitung ada 7 pondok. Tidak tepat kalau disebut pondok, ternyata setelah melihat lebih dekat, lebih tepat disebut rumah. Rumah dengan hiasan tradisional khas Rejang.

Kami memasuki salah satu Rumah yang tertutup. Ketika pintu dibuka, hmmmm…aroma wewangian. Aku kenal aroma ini. Ini bau khas dari akar serai wangi, sejenis tanaman yang sering digunakan untuk obat-obatan dan akarnya disuling, dan minyak hasil sulingan dijadikan bahan inti dari parfum mahal.

“Silahkan masuk dan duduk dang. Silahkan senyaman di rumah sendiri.”

“Terimakasih” jawabku sambil duduk pada salah satu kursi, dan aku yakin ini kursi dari kayu mahal dan dikerjakan oleh tangan trampil. Tofa duduk di kursi di sampingku. Sementara Rindang buru-buru ke belakang.

Seluruh ruangan ini tidak luput dari pandanganku. Dari perabot, dinding, hiasan, jendela dan pintu. Semuanya sangat menarik buatku. Sangat klasik! Dan sempat aku berfikir untuk interior SLE, salah satu cafe yang jadi induk usahaku, dibuat seperti ini juga.

“Keren ya bang?” Rupanya Tofa juga melakukan hal yang sama dengan aku lakukan, dan dia juga mengagumi interior dalam ruangan ini.

Belum puas kami mengagumi karya seni di ruangan ini, Rindang muncul dari pintu tengah.

Tangannya membawa nampan yang terbuat juga dari kayu. Lagi-lagi kayu mahal. Di atas nampan ada gelas dan ceret air yang terbuat dari bambu. Aku semakin jaruh cinta dengan yang aku lihat.

Sekilas aku melihat mata Tofa. Aku menilai pandangan itu adalah pandangan kekaguman.

“Rumah-rumah di sekitar sini tertutup semua, orang-orangnya ke mana ya?” Tofa menanyakan hal yang terlupakan oleh aku.

“Ada acara pesta pernikahan di aula di sebelah, dinda. Semua orang pergi ke sana. Silahkan diminum kopinya dang, dinda. Ini kopi asli dari kaki Gunung Bungkuk ini. Hasil olahan tangan-tangan hebat ibu-ibu sekitar.”

Tidak tahan dengan aroma yang sangat menggoda dari kopi dalam gelas bambu ini, membuat aku segera meraih dan mendekatkan ke hidung. Aku hirup aroma yang…hmmm… sangat seksi ini, percampuran antara aroma kopi yang dipetik merah, disangrai dan ditumbuk tradisional dan ditambah dengan aroma bambu…hmmmm sangat menggoda. Ketika aku seruput? Wow wow wow…! Benar-benar seksi!

***

Tofa menikmati kopi ini sambil berdiri di dekat jendela. Memandang lembah dan bukit-bukit.

Rindang menjelaskan tentang kebun kopi yang ada di sekeliling Gunung Bungkuk ini, yang merupakan gunung kebanggaan masyarakat Bengkulu tempo dulu dan hingga sekarang. Struktur alam melahirkan rasa kopi yang khas. Rindang tidak bohong tentang ini. Aku juga merasakan hal yang sama.

“Ayo dang, dinda, kita ke pesta yang saya sebutkan tadi”

Aku tergagap. Tidak menyangka akan ada ajakan ini. Aku teringat dengan rencana awal.

“Maaf Rindang, terimakasih sebelumnya. Dang tidak bisa ke pesta tersebut. Dang mau ke Retes Bioa Pe’ing, akan menemui kawan dang di salah satu kebun.”

“Oh, itu ada di belakang Gunung ini dang. Satu arah dengan pesta itu. Nanti saya antar ke sana.”

Ini benar-benar hebat aku kira. Kata pepatah, satu kali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Ditambah lagi kemungkinan tersesat seperti tadi, tidak akan terjadi.

“Mari dang, adinda…” Ah, nada ini sudah sangat jarang saya temui. Sopan santun milik orang Bengkulu.

***

Kami melangkah di jalan yang rapi. Tidak seperti jalan desa umumnya. Kiri kanan jalan ditanami kembang yang sedang mekar. Berbagai jenis. Tapi aku tidak tahu kembang apa saja itu. Yang aku tahu cuma mawar dan melati. Semua tanaman ini terawat rapi. Lingkungan yang saya lihat ini kontras sekali dengan di sekitarnya. Bukit dan Lembah-lembah yang ditumbuhi kopi.

Suara gendang, serunai dan rebana terdengar jelas dari aula. Sudah terlihat lalu lalang orang. Semuanya tampak bahagia. Selalu tersenyum ketika berpapasan. Tua, muda dan anak-anak. Berpakaian tradisional gaya ala jaman dulu. Dalam hati aku berfikir, bahwa masyarakat di sekitar sini masih sangat menghargai tradisi mereka. Aku kagum sekaligus masygul.

Sesampai di aula, kami langsung diajak oleh Rindang ke tempat yang menurutku istimewa. Sekeliling aula dihiasi dengan daun kelapa yang di lepas lidinya. Dipasang melengkung bagian luar, dan bagian dalamnya dihiasi dengan ‘Lida-Lida’, hiasan adat masyarakat Bengkulu, terbuat dari kain beludru merah dan ujungnya dijuntai dengan hiasan keemasan. Sementara di tarub utama hiasan lebih mewah lagi. Aku benar-benar terpesona dengan semua yang aku lihat. Karena semua di depan mataku saat ini adalah kenangan masa kecilku, lebih dari 40 tahun yang lalu.

Sementara Tofa tidak henti-hentinya mengambil gambar dari hp mahalnya. Baik foto maupun video. Di ujung tarup, di hadapan, sepertinya, para pemuka adat, ada pengantin perempuan. Sedang mengaji.

Rindang memperkenalkan aku dengan beberapa orang. Setelah kenalan, aku tahu kalau mereka adalah saudara-saudaranya. Aku tidak begitu jelas mendengar nama mereka. Di samping nama-nama itu agak janggal, juga terganggu oleh suara keramaian. Yang aku ingat cuma Mincur, itupun kalau tidak salah.

“Yang sedang mengaji itu adik bungsu kami. Perempuan satu-satunya. Namanya Gading. Hari ini dia menikah dengan laki-laki dari daerah jauh. Dan sekarang dia lagi Tamat Kaji.”

‘Tamat Kaji’ adalah tradisi selamatan masyarakat Bengkulu, diadakan ketika sang anak sudah menamatkan Al-quran. Biasanya dilaksanakan ketika akan menikah, atau sering juga dilakukan tidak lama setelah yang bersangkutan menamatkan Al-qurannya.

“Tadi saudara-saudara saya mengundang dang dan adinda Tofa untuk datang nanti malam. Acara Balas Pantun, Bedendang, juga Bimbang Gedang. Ada tari-tariannya juga. Mohon dang jangan menolak.”

Aku tergagap. Masih mengingat dengan tujuan utama.

“Dang jangan khawatir, saya akan mengantar dang sampai pintu rumah orang yang dang tuju. Siapa namanya?”

“Syahril” jawabku singkat. Dan aku mengabaikan lagi target kami.

Malam telah datang. Para undangan semakin ramai. Muda-mudi dan dewasa, juga yang tua. Semuanya berseri-seri. Mereka benar-benar bahagia. Pakaian merekapun masih unik. Sangat tradisional. Begitu juga dengan pakaian aku dan Tofa yang dipinjamkan oleh Rindang.

Dibuka dengan suara serunai yang tinggi dan mengalun, acara pesta malam ini dimulai. Tidak sempat aku perhatikan apa saja yang diucapkan dalam pembukaan tadi, karena aku masih disibukkan memperhatikan para undangan yang datang malam ini. Sangat ramai dan mereka terlihat anggun dengan sikap-sikap mereka. Selalu menyapa dengan senyum yang selalu mengembang. Tidak ada seorangpun yang sibuk dengan diri sendiri.

Kekagumanku semakin tinggi pada tamu-tamu ini, karena tidak ada seorangpun dari mereka yang memegang hp, kecuali Tofa yang berusaha untuk tidak melewatkan moment-moment yang hampir tidak ada lagi. Tidak ada juga fotografer yang sibuk mendokumentasikan acara yang sangat istimewa ini.

“Dang, ayo, kita berbalas pantun, Dang diminta untuk membuka acara ini.”

Rindang mengejutkan aku. Benar-benar terkejut. Pertama terkejut karena aku masih memperhatikan sekeliling, yang kedua karena dikasih kehormatan untuk membuka acara berbalas pantun. Aku melongok lalu tergagap.

“Ja ja jangan Rindang. Dang sama sekali tidak pernah berpantun.” Rindang tersenyum.

“Tidak apa-apa dang. Dang coba saja dulu.”

Aku sangat bingung. Aku pandang orang-orang yang ada di tarup utama. Mereka tersenyum dan mempersilahkan. Begitu juga orang-orang yang ada di sekitarku.

Jangan-jangan orang-orang ini akan mempermalukan aku? Aku pandang Tofa, dan dia juga mendukung agar aku membuka acara berbalas pantun. Ragu-ragu aku menuju tempat yang sudah disediakan di dampingi oleh Rindang dan Tofa yang sudah siap akan mendokumentasikan moment super mahal ini. Lawanku sudah siap dan menyambutku dengan senyum yang menenangkan. Dia menyalamiku.

Aku semakin bingung. Karena tidak pernah berpantun sebelumnya. Aku tarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri, kosentrasi sejenak dan mencari-cari kata untuk pantun pembuka.

“Jauh jalan dari kota, belum sampai tujuan tertidur pula, jauh angan dari kata, maafkan saya jika salah” Aku kaget sendiri. Kemudian disambut oleh lawanku yang kelihatannya juga mendapat kehormatan sebagai pembuka.

“Jauh kota dari gunung, di gunung kita bertemu. Angan dan kata sudahlah agung, sudahlah puas kami dan tamu.”

Tepuk tangan bergemuruh. Aku terpana. Tofa tersenyum bangga. Sedangkan lawanku berpantun menyalamiku dan memelukku mesra.

“Terimakasih adinda” bisiknya di telingaku.

Rindang kembali mendampingiku, bahkan dudukpun di sampingku. Ada fikiran konyol mampir di otakku, dan itu membuat aku tersenyum sendirian, Tofa dan Rindang adalah pengawalku.

Berbalas pantun yang sukses. Belum pernah aku melihat acara berbalas pantun semeriah ini. Muda-mudi, tua-muda sangat antusias untuk unjuk kebolehan merangkai kata-kata indah. Andai pesta seperti ini semakin banyak orang yang mengadakan….ah semoga saja.

Acara berbalas pantun sudah selesai. Selanjutnya adalah bedendang. Pada saat sesi tari-tarian, Tofa yang ditodong sebagai pembuka tarian. Kebalikan dari aku, pemuda ini malah sangat bersemangat ketika ditawari menarikan Ta’ai Titik. Mantap dia melangkah. Semantap langkahnya menari mengikuti suara gendang, dan rebana. Aku heran melihat langkah-langkahnya dalam menari. Atau aku yang tidak tahu kalau dia adalah penari tradisi?

Sepertinya para pemain gendang dan rebana masih ingin melihat pemuda kota yang tampan ini menarikan tariannya, hingga mereka belum ada tanda-tanda akan menghentikan tarian tersebut. Semua orang menikmati sajian di atas tarup saat ini, hingga Tofa sendiri yang menyerah.

Tofa turun dari Tarup, dan buru-buru Rindang menjemput dan menyambutnya, lalu mendampingi hingga ke tempat duduk. Ah…aku merasa kami adalah tamu paling agung malam ini.

“Tarian adinda sangat bagus.” Puji Rindang begitu mereka duduk.

“Terimakasih…” Jawab Tofa sambil tersenyum. Ada rasa puas di wajah itu. Puas karena tidak mengecewakan sebagai pembuka.

***

Entah berapa lama acara tari-tarian ini, tapi aku merasa terlalu singkat. Walaupun semua sesi tarian sudah selesai dan sudah sangat banyak yang menari dan ditutup dengan tari ‘Mabuk’ oleh pengantin pria.

Antara jeda Bedendang dan Bimbang Gedang, Rindang mengajak kami melihat orang menyembelih kerbau di samping mushola. Tidak banyak orang di sini. Cuma beberapa orang, dan semuanya menyalami kami dengan takzim. Merekalah yang bertugas menyelesaikan tugas menyembelih tiga ekor kerbau ini.

“Untuk acara Bimbang Gedang nanti dang.” Rindang menjelaskan pertanyaan yang belum sempat aku tanyakan.

Sedari tadi aku tidak melihat Tofa. Pastinya sejak dia pamit akan berkeliling melihat-lihat desa. Aku sedikit khawatir.

“Adinda Tofa akan baik-baik saja dang. Saya sudah mengirim salah seorang anak muda sini untuk menemaninya.” Rindang menepis kekhawatiranku.

Rindang kembali mengajakku untuk berkeliling sambil menjelaskan persiapan acara Bimbang Gedang sebentar lagi. Dalam hati aku membatin, sepertinya waktu di sini lama sekali ya. Sepengetahuanku, dan pengetahuanku tentang ini memang sangat sedikit, acara pernikahan adat yang selama ini aku tahu, untuk per-acara minimal dilakukan satu malam.

Tapi di desa ini orang bisa melakukan pesta yang dilaksanakan minimal 3 hari 3 malam, tapi bisa dilakukan hanya 1 malam, termasuk dalam segala persiapan. Aku kembali menyimpan kekaguman.

Di tarup utama, aku melihat para pemain gendang, serunai, rebana dan biola sudah siap. Sementara para ‘Jenang’ hilir mudik membawa dan mengatur makanan untuk orang-orang yang ada di tarup utama. Para pemuka adat duduk di tempat paling depan. Ada sekapur sirih di depan mereka.

“Dang, maukah dang melihat adik kami yang sedang menjadi pengantin yang paling cantik malam ini?”

Jantungku sedikit bergetar mendapat pertanyaan ini. Tentu saja aku mau, karena hingga saat ini aku belum melihat kedua mempelai pemilik acara besar ini.

“Mari dang…!” Kami memasuki ruangan yang sangat megah. Dan kemegahan ini belum pernah aku lihat sebelumnya. Baik di dalam masyarakat ataupun resepsi di hotel-hotel.

Tidak bisa aku gambarkan ruangan ini. Penuh dengan hiasan yang berkilau bagai emas dan perak. Di belakang pengantin ada hiasan yang berlapis-lapis. Ada tujuh lapis dan setiap lapis berbeda warna.

“Di belakang pengantin itu namanya kelambu tujuh lapis dang. Itu harus ada kalau mengadakan acara adat, terutama bedendang dan bimbang gedang.”

Ucapan terimakasihku aku simpan dalam hati. Karena Rindang selalu menjelaskan apa yang ada dalam hati dan fikiranku. Aku juga sempat berfikir, apakah pemuda ini bisa membaca fikiran orang?

Aku memperhatikan sepasang pengantin ini. Keduanya tampak mempesona. Yang perempuan cantik luar biasa dengan bibir yang selalu tersenyum, dan senyumnya malu-malu. Dan pengantin pria tampan berwibawa dengan senyum yang menawan. Benar-benar pasangan luar biasa.

Ruangan tamu ini besar, dan sudah penuh oleh tamu-tamu pemuda dan pemudi. Mereka duduk di lantai beralas permadani sangat tebal dengan motif mahkota di tengah-tengahnya. Ada yang berbalas pantun di sini. Di salah satu sudut ada Tofa, dia mengangguk dan tersenyum pada kami. Pemuda kota ini telah berbaur dengan pemuda pemudi kampung.

“Kutanam bunga rapat-rapat, agar punai ada yang singgah, aku tanam harap rapat-rapat, agar adinda mau aku nikahi”

Seorang pemuda berpantun dan ditujukan pada gadis berkebaya merah, dan gadis ini digoda habis-habisan oleh teman-temannya.

“Terbanglah tinggi si burung punai, harap ditanam dalam hati, takkan punai akan tahu, jika pulut tak disaji”

Satu ruangan penuh dengan senyum dan canda, termasuk kedua mempelai. Bahkan aku dan Rindangpun ikut tersenyum.

Aku menyalami para mempelai dan mengucapkan selamat. Dan mereka menjawab dengan terimakasih. Berbarengan.

Sebentar lagi “Pecah Nasi”, acara pembuka dalam bimbang gedang ini. Serunai kembali ditiup pertanda acara akan dimulai. Selanjutnya kesibukan para jenang menurunkan susunan lauk pauk dan disusun sedemikian, agar tidak ada satu jenis lauk berada berdampingan, di hadapan tamu yang duduk di setiap tarup. Ada tiga tarup di sini, dan semuanya penuh.

Tanpa aku kehendaki aku menguap saat acara sedang pada puncaknya. Dan tidak sempat aku sembunyikan. Rindang menyentuh bahuku dan bicara lembut.

“Ayo dang, kita pulang. Dang istirahat sebentar sebelum saya antar menemui teman dang.”

Aku tidak tahu prosesnya, aku sekarang sudah berada dalam kamar di rumah Rindang. Kamar yang tadi digunakan untuk berganti pakaian. Mungkin disebabkan karena terlalu ngantuk akibat kelelahan pada acara tadi. Dan…..

***

Berapa lama aku tertidur? Aku tidak tahu. Aku terbangun karena ada sedikit ‘keributan’ di ruang tamu. Sudah ada Tofa yang masih tertidur di sampingku.

“Adinda sudah janji kanda, adinda harus mengantar mereka sekarang” Suara Rindang. Tapi sama siapa dia bicara? Dan tentang apa?

“Kanda tahu adinda, tapi kita butuh mereka di sini. Mereka yang tertulis dalam buku takdir kita. Yang muda sudah ditulis sebagai jodoh dari keponakanmu, sedangkan satu lagi kita butuhkan untuk posisi kosong dalam pemerintahan untuk jaman sekarang.”

“Adinda juga yakin akan itu sekarang kanda. Apa yang kita lihat dari mereka selama di sini, membuktikan atas keraguan adinda selama ini. Tapi adinda sudah berjanji pada mereka. Menurut kanda, apa yang mesti kita lakukan, supaya adinda tidak terciderai janji?”

“Apakah adinda tidak melihat bagaimana keponakanmu memandang pemuda itu? Apakah adinda tega mengecewakan hatinya yang masih polos itu?

Hening sejenak. Aku masih diam. Menyimak setiap kata. Karena aku merasa ada sangkut pautnya dengan kami. Semoga ini perasaanku saja. Setelah beberapa saat belum ada suara lagi dari ruang tengah. Hanya ada langkah-langkah berat mondar-mandir. Aku tercekat.

Sekarang aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya? Aku cemas.

“Baiklah adinda, antarkan saja mereka dulu. Nanti kita akan fikirkan lagi pemecahannya..”

“Terimakasih kanda.”

Aku lega.

Hening kemabli. Suara kicau burung dan jangkrik masuk ke telingaku.

Sebelum kami melangkah, Rindang merangkul bahuku dan Tofa sambil tersenyum. Dia akan mengantar kami sesuai janjinya. Rindang berjalan di depan kami. Dia adalah penunjuk jalan menuju pondok kebun kopi milik Syahril. Rasanya baru beberapa langkah kami keluar dari keramaian pesta, dan sekarang aku tidak mendengar lagi keriuhan pesta di belakang kami. Malah melihat keramaian yang berbeda.

Heran, kok Gunung Bungkuk sangat ramai hari ini. Ada acara apa ya? Ada banyak orang berseragam SAR, Pecinta Alam, ABRI, Polisi dan masyarakat umum. Sepertinya mereka mencari sesuatu dan mereka meneriakkan sesuatu. Anehnya tidak ada suara mereka yang aku dengar. Setengah nyata setengah fatamorgana.

Di bukit yang lebih tinggi, di punggung Gunung Bungkuk, Rindang berhenti sejenak. Dia menunjuk ke pondok yang tidak begitu jauh di bawah bukit.

“Itu pondok yang akan kita tuju dang.”

Tofa mendahului menuruni bukit, mengikuti jalan setapak. Aku mengikuti di belakangnya, dan Rindang di belakangku. Tidak terlalu lama, kami sampai pada tujuan. Aneh, aku tidak berkeringat, apalagi merasa capek. Padahal naik turun bukit.

Sebelum memasuki halaman pondok, Rindang pamit dan berjanji akan ketemu lagi. Bersalaman, dan tidak lupa merangkul pundak kami. Dia pergi sebelum kami mengucapkan salam pada penghuni pondok.

Assalamualaikum….”

Waalaikumsalam…” Suara seorang wanita dari dalam pondok. Lalu keluar dan diikuti oleh dua orang anak laki-laki.

Dia melihat aku antara percaya dan tidak. Dia melihat dari bawah sampai ujung kepala berkali-kali, mungkin antara percaya dan tidak kalau kami sampai di sini, dan sekarang sudah ada di depan pondok mereka.

“Apa kabar?”

“Ka ka kabar baik dang…”

“Mana bak Rafel?”

“Lagi..lagi…oh, lagi…lagi menumbuk kopi ke pondok sebelah…”

Mata wanita ini masih memandang kami dengan aneh. Aku merasa dia menyimpan sesuatu di pikirannya.

“Ayo masuk dang…” Nada ajakannya masih mengambang…

“Terimakasih…” Aku dan Tofa menaiki tangga lebih dulu, dan segera duduk di kursi panjang di beranda pondok kecil ini. Istri Syahril langsung ke belakang. Terdengar dari dapur seperti mengaduk sesuatu dalam gelas. Mungkin membuat kopi untuk kami.

Tidak lama kemudian, dua cangkir kopi disediakan untuk kami.

Nut, istri Syahril masih menyimpan wajah bingung, di antara obrolan panjang kami sembari menunggu suaminya pulang.

Menjelang maghrib, Syahril muncul dari sela-sela pohon kopi. Ketika dia melihat kami, tertegun dan mengusap mukanya berkali-kali, lalu dia langsung berlari dan menaiki tangga pondok dengan sangat terburu-buru. Dia langsung memeluk aku.

“Syukurlah Ryu masih hidup…” Ucapnya penuh haru ketika memeluk aku.

“Kok kamu menyumpahi aku? Tidak suka ya kalau kami ke sini?!” Gurauku.

“Bukan begitu Ryu, Itu orang-orang di gunung sudah seminggu ini mencari kalian. Dari SAR hingga orang-orang kampung. Sampai-sampai mereka mendirikan tenda di sekitar gunung…”

Aku dan Tofa saling berpandangan. Bingung. 7 hari 7 malam? Bukankah baru kemarin kami meninggalkan kota?

*Bersambung*

05 maret 19

Kebun Kopi di Belakang Gunung Bungkuk

Bagus Yuarto Rozali, Eks Presiden Sle Bengkulu

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.