De Sle

Aku menyinggahi pantai yang terbentang panjang hampir 7 km. Ada rasa kagum sembari takjub atas keindahan pesisir laut yang rimbun dan sejuk oleh desau bayu dan sibak dahan cemara. Selintas aku melewati pusat keindahan wisata pantai yang akhirnya aku tahu, Pantai Panjang lah nama pantai ini.

Meski sempat tinggal di Bengkulu selama 2 tahun, tapi aku tak pernah tahu seluk-beluk pantai dengan pasir putihnya, tak sekalipun aku melihat dioramanya secara keseluruhan. Sepanjang pantai panjang, kenangan tertinggal begitu saja. Semenjak aku memutuskan pergi dari kota tercinta ini, hijrah ke Mandalawangi dan menyisakan luka di hati.

Terik mentari yang begitu saja menyengat, tidak terasa membuat peluhku bercucuran. Aku menghentikan kendaraan roda dua yang sudah sepuh ini ke pembatas trotoar depan Sport Center, singgah ke hamparan pesisir pantai putih.

Dawai-dawai angin laut menyibak rupa kusamku, memaksa untuk berbinar dan menghirup udara segarnya.

Byiiiuuur…debur ombak menambah intonasi hati kala kesepian, merajut luka menjadi lupa. Kurasa, bukan aku saja yang merasakannya, semua orang bakal tersanjung oleh sambutan angin Pantai Panjang, Kota Bencolen.

Aku masih penasaran, apakah hanya pantainya saja yang menyajikan kesejukkan?

Aku segera menyusuri garis  pantai yang terlihat cukup ramai di sore hari. Berharap ada sesuatu yang dapat kunikmati. Entah itu serabi, atau kopi.

Benar saja. Tak beberapa jauh dari tempat aku berpangku dagu, aku melihat sebuah kedai kecil berdiri kokoh di antara tepi pantai dan jalan raya, berhadapan dengan pusat perbelanjaan modern.

“Republik SLE”

Sedikit berlari kecil, aku menyegerakan diri menyinggahi kedai yang sedikit kontroversi.

“Berdiri Republik di atas Republik. Jangan-jangan ini bukan kedai, melainkan sekretariat ormas radikal,” pikirku dalam hati.

Sambil nyuruk aku mendekati kedai itu. Betapa terkejut, ternyata di dalam Republik SLE lahir sebuah filosofi hidup yang cukup keras. Kopi SLE.

“Kopi, ya, ini Kopi.” Setidaknya aku tak lagi kesepian, meski tanpa seorang wanita yang setia menemaniku seperti kala senja waktu itu. Ya, dengan adanya kopi, paling tidak ada halusinasi yang dapat kuambil dari senja pantai panjang tanpa seorang kekasih.

“Wak, mesan satu. Yang pahit, ya.” Bubuk kopi yang terlihat di olah tradisional dengan perpaduan rempah-rempah cukup membuatku penasaran dan tidak sabar memadukan filosofi sepi.  Ada harap bakal tumbuh semangat baru untuk terus singgah di kota ini.

Tak beberapa lama, jadilah segelas kopi yang dihidangkan dengan keramahan pembuatnya. Seorang lelaki berumur, menyajikan kopi pada gelas yang cukup unik dengan sendok yang entah terbuat dari apa. Rasa dan aroma khas yang sudah tercium dari jarak 15 meter, membuatku segera menyiapkan kertas catatan. Aku tidak tahu, barangkali akan muncul ide ketika aku menyeruput kopi SLE ini.

Srrrrruuuupuuutttt…. Benar saja, ketika mata sayu memandang sepasang kekasih berlalu-lalang di pantai panjang, seketika menyeruput kopi hitam ini, timbul energi baru yang luar biasa. Entah dari mana filosofi itu datang, segera kutuangkan pada selembar kertas dan menjadikannya sebait puisi.

Sembari berbasa-basi, aku menyergap sang barista dengan segelintir pertanyaan.

“Adakah yang lebih enak dari kopi ini di Bengkulu, Wak?”

“Ngga ada! Hanya kopi SLE lah yang terbaik.” Jawaban tegas dari seorang yang diketahui bernama Bagus dan dikenal dengan panggilan Presiden Republik SLE di kota ini.

“Aku membuatnya dengan ramuan rempah-rempah pilihan, di mana rempah pilihan itu antara lain adalah daun kulit kayu manis, bunga peka, serta capulaga ditambahkan juga dengan kulit jeruk purut. Maka jadilah serbuk SLE  yang kau minum itu” ucapnya sambil tersenyum lebar.

Tak hanya terbuai dengan pembicaraan mengenai menu kopi bersama racikannya, si Presiden SLE yang berperawakan sedang tinggi kira-kira 168 cm, dengan kulit putih cream dan bermata sipit dan menggunakan baju kaos ungu yang bertuliskan ‘Mencari Penakluk Kopi SLE’ salah satu karya sablonnya, langsung mengajak ke dapur untuk melihat langsung penyajian dan racikannya. Dapur yang berukuran 3×2 meter ini, dipenuhi dengan perlengkapan dan bahan masakan kopi SLE, terlihat dapur yang sengaja dibentuk sederhana seperti rumah dahulu.

Aku hanya memandang caranya meracik kopi SLE. Ia juga memperbolehkanku mencobanya sendiri sesuai selera. Seiring meracik kopi, sang Presiden menceritakan sejarah ia menciptakan buah karya kopi SLE tersebut mulai dari menyusun racikannya hingga penamaan kopi SLE.

“Saya sering berkelana ke daerah-daerah dan kota di Indonesia hingga menyusuri pasar tradisional, Mas.  Terbayangkan begitu kayanya hasil alam Indonesia, sehingga salah satu faktor penjajah yang datang ke Indonesia tak lain dan tak bukan hanya mengincar kekayaan Indonesia termasuk rempah-rempahnya, dari sanalah saya mulai berpikir untuk mengelola hasil Indonesia agar dapat dirasakan kembali dikala santai, dalam skala tradisionalnya kota Bengkulu,” ujarnya.

Melanjutkan racikannya, Si presiden mulai menyiapkan sesendok kopi dan gulanya seperti biasa, namun ada sebuah resep rahasianya rasanya, yaitu di air yang telah disiapkan dan telah beraroma khas terapi rempah-rempah. Setelah dituangkan ke segelas kopi, barulah dicampur dengan racikan selanjutnya Kulit kayu manis, bunga peka, kulit jeruk hingga kapulaga.

Terlena dengan cara peracikannya, hingga tak terasa telah siap disajikan. Sang Presiden langsung mengajakku ke kedai khusus yang ia sediakan di area bibir pantai yang mampu menyajikan kenikmatan lebih bagi penikmat kopi. Kedai yang dibangun dua tingkat serta berbentuk sederhana dan tradisional ini seakan membawa keindahan suasana terdahulu di perdesaan. Ditambah lagi hembusan angin pantai menerpa diiringi hempasan ombak yang menerjang pantai.

Melihat indahnya sajian Kopi SLE tersebut dengan aroma khasnya tak sabar untuk segera diseruputi. “eiiitsss…. menikmati kopi yang nikmat harus ikuti cara kopi SLE,” ujar sang Presiden.

Cara terbaik menikmati ala seni minum kopi SLE, yaitu dengan mencium aromanya terlebih dahulu, kemudian cara minumnya ada dua cara yaitu dengan sedotan kulit kayu manis atau langsung diseruputi dari gelasnya sendiri seperti biasa, karena dengan cara yang dianjurkan oleh Presiden penikmat kopi akan menemukan sensasi ice cool, mint, penyegar hingga rasa pewangi mulut dan kalau dinikmati dari ‘pipet’nya yang terbuat dari lembaran kayu manis akan merasakan kenikmatan lebih dalam tiap sedotannya.

Nah hal pentingnya, ia mengatakan, bahwa ada dua cara yang perlu diperhatikan, yaitu pertama aduk kopi setiap kali mau minum agar mendapatkan manis sesuai kehendak. Kedua, kunyah beberapa rempah-rempah yang sudah dicampur dalam gelas kopi. Misalnya, Bunga peka, ia harus di kunyah dulu, lalu minum kopi secukupnya dan kumur-kumur tentunya ini akan ditemukan sensasinya. Begitu juga cara menghirup kopi dengan Kapulaga dan yang menarik bukan saja sensasi yang berbeda-beda dari norma dan etika minum Kopi Sle ini. Namun dibalik racikan itu ada kesadaran etika sosial serta norma pasar yang selama ini terabaikan yaitu pada hal-hal manusiawi.

Sewajarnya jika ia memberikan nama “Kopi SLE” menurutnya sendiri, kata SLE adalah kata asli Bengkulu yaitu aneh atau berbeda dari biasanya. Kopi yang biasanya hanya dinikmati dengan kemurnian tanpa adanya kolaborasi dari bahan yang istimewa, namun di Kopi SLE memberikan nikmat yang berbeda dengan memadukan racikan bumbu serta rempah-rempah tanpa menghilangkan identitas kopinya.

“Kenikmatan Kopi SLE, berbeda-beda saat panas, hangat dan apalagi kalau dibiarkan hingga dingin, karena kenikmatan Kopi SLE bisa dinikmati saat tegukan terakhir di tiap gelasnya,” katanya sembari memukul pundakku.

Terlena dengan nikmatnya kopi SLE hingga terlupakan warna senja di Pantai Panjang. Aku segera mengutarakan keresahan yang bakal terjadi setelah ini.

“Kenapa?” tanyanya.

“Aku lupa filosofi luka saat minum Kopi SLE. Tapi, setelah ini aku bakal ingat lagi luka yang pernah tergores oleh sang Gading, kala sang gadis manis yang entah kemana rimbanya itu meninggalkanku sendiri di pelataran Tapak Paderi.”

“Ah, kau ini. Masih muda kok loyo.” Kamipun terbahak-bahak berbincang dan larut dalam sajian sang SLE, sampai mentari tak menyisakan satupun merah jingganya.

Bengkulu, Maret 2019

M Bisri Mustofa, Komunitas Menulis Bengkulu

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.