Boni Dan Nasibnya

* Cerita berikut adalah fiktif 

Rantai panjang dan besar melilit lehernya. Sesekali ia menghentakkan kakinya dan menarik erat rantai tersebut. Tapi apalah daya, Boni dan kawan-kawannya kembali dikalahkan oleh nasibnya sendiri.

Kami hanya bisa melihat dari jauh. Gemericik arus sungai yang deras menghalangi kehadiran kami, menuju Taman Hutan Lindung dan Pusat Latihan Gajah, Sebelat.

Boni, Indukan betina Gajah Sumatera menyambut kami dengan riang. Gerak-geriknya seakan menampakkan wajah malu. Ia terlihat seakan memanggil dari seberang. Badannya yang gemuk dengan lihai menggerakan pinggulnya. Namun tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya berdiri. Belalai yang panjang dilambaikannya seakan menyeru kami untuk mendekat.

Rupanya Boni sudah tau kedatangan kami. Kami terperanjat melihatnya kegirangan. Aku ingin melihatnya dari dekat. Lantas maju beberapa meter, sampai menepi di batas sungai. Pikirku ia senang kedatangan tamu.

“Aku rasa Boni bosan di tempat ini. Berkeliling di sekitar pelatihan puluhan tahun lamanya, wajar jika ia senang melihat kami.” kataku dalam hati.

Memang, bagiku saat ini, berada di ruang terbatas membuat psikologi dan kejiwaan terasa sangat membosankan dan menimbulkan halusinasi hampa. Apalagi tak kunjung bertemu dengan sesuatu yang baru.

Si Boni, meskipun ia hanya seekor mamalia yang setiap harinya diberi makan, dimandikan dan disuguhi pelatihan-pelatihan ala sirkus, tapi bagiku ia juga ingin bebas. Dan pantas jika aku mengira itu semua.

Ada alasan lain yang memang harus dipikirkan. Konservasi. Istilah mengerikan datang tatkala melihat sisi negatifnya saja. Konservasi sendiri mempunyai arti sebagai mengurung, mengamankan, dan melatihnya menjadi hewan jinak. Namun kenyataannya, jika tidak diadakan, hal tersebut justru mengancam populasi hewan langka ini. Boni bakal jadi buruan manusia-manusia jahat. Mereka akan liar dan memakan semua perkebunan masyarakat, juga mengganggu keseimbangan alam yang kian timpang.

Aku berkhayal sembari menanti harap agar ada yang mau menyebrangkan kami. Boni masih di tempatnya. Awalnya ia bersembunyi di balik semak belukar. Ketika kami mulai mendekat badan sungai, ia pun melongokkan dirinya.

Mentari terik mulai meredupkan caya-nya. Beberapa menit menunggu, datanglah seseorang dengan Ketek-nya yang kukira adalah dari tim konservasi.

“Abang dari anggota pelatihan gajah?!” Teriakku sambil melambaikan tangan.

Ia berhenti, “Apa mas?!”

“Kami mau nyebrang, pak. Bapak dari tim konservasi, bukan” setelah mulai mendekat, aku pun merasa bahwa ia hanya warga biasa. Kulihat Ketek yang ia bawa penuh dengan kayu belahan.

“Bisa sebrangkan kami?” Tanyaku lagi.

“Oh, bisa, bisa. Berapa orang?”

“4 orang, pak. Dan berapa biayanya?”

“Seiklasnya, mas.” Tegasnya yang terlihat sudah mulai menepi.

Kami pun bergegas. Tanpa waktu lama, sang pengemudi dengan lihai menggerakan Ketek, melawan arus deras sungai dengan lebar 60 meteran. Kiraku.

Boni tampak bersemangat. Sesekali ia menyemburkan air dari ujung belalainya. Kami tak banyak cakap. Melihat ketiga temanku yang juga hanya diam menahan diri, menikmati arus sungai atau bisa jadi sedang ketakutan. Maklum, kami baru kali pertama menyebrangi sungai dengan Ketek yang jauh lebih kecil dari perahu nelayan.

Aku mengingat kembali cerita dari sang pemandu wisata. Ia mengungkapkan bagaimana asal-usul Boni, dan kedua teman lainnya, Nelson dan Ucok sampai di sini.

Boni adalah Gajah Sumatera yang ditemukan di belantara hutan lindung Lebong. Saat ditemukan, ia menjadi korban penembakan pemburu. Kakinya saat itu terluka dan tubuh Boni terkulai hingga akhirnya ditemukan oleh sekelompok anak gunung.

Alison, gajah yang agresif satu ini diketahui adalah salah satu gajah endemik dengan gading pipa termahal. Seorang kolektor gading dari berbagai macam hewan, memburunya dan memotong hampir 15 sentimeter gading Alison. Hingga ditemukan kali pertama, Alison sedang dalam keadaan sekarat karena selain dipotong gading cantiknya,ia juga disiksa oleh pemburu tersebut. Kala itu umurnya masih dini, berkisar 25 tahun.

Dan Ucok, gajah jantan satu ini lebih tragis nasibnya. Ia dihakimi warga ketika kepergok merusak perkebunan dan  tengah asyik makan pisang yang belum sempat dipanen. Padahal hanya lima tandan saja yang ia gasak sampai akhirnya warga murka dan hampir membunuhnya. Begitulah cerita dari pemandu pariwisata yang mengantar kami. Ia hapal betul dengan seluk beluk pusat pelatihan gajah di sini.

Sebenarnya, Gajah tidak akan pernah mengganggu manusia jika manusia itu sendiri tidak mengganggu ketentraman hidupnya. Kejadian di Bengkulu, Riau dan juga daerah Sumatera lainnya yang memberitakan bahwa gajah adalah binatang buas dan liar yang menyerang manusia.

Jika kita memandang bijaksana, Gajah menyerang manusia karena keserakahan manusia itu sendiri. Menghancurkan hutan tempat habitatnya, menebang pepohonan untuk pemanfaatan ekspor dan bahan bangunan, serta membangun perkebunan atau perkampungan di daerah jelajahannya merupakan kesalahan yang tak bisa dimaafkan bagai gajah itu sendiri.

Di Thailand gajah sangat dihargai dan bahkan dipuja. Begitupun di Aceh, hewan ini dahulunya hewan ini sangat diandalkan sebagai alat bantu perang melawan musuh. Dan banyak lagi sejarah-sejarah lainnya yang mengagungkan gajah. Tapi mengapa sekarang, hewan ini dianggap sebagai hama yang merusak, bahkan hewan pembunuh.

Aku menghela napas  sedalam mungkin, dan melepaskannya seiring penat yang kian mengerat.

Sesampai di seberang, aku pun bergegas mendahului ketiga temanku. Aku penasaran mengapa Boni malu-malu dan tidak mau enyah dari tempatnya.

Tempat yang kami tuju tidak begitu jauh. Tapi wajah alam menghalangi kami untuk melihat segera tempat Boni berdiam diri.

Hampir sampai, aku terhenyak sesaat. Mata kecil Boni terlihat berbinar. Aku baru ingat, jika mata gajah memanglah kecil. Namun untuk mengetahui datangnya orang dari kejauhan, telinganya-lah yang ia andalkan.

Beberapa meter lagi aku akan sampai dan bisa memegangnya. Aku makin bersemangat. Namun tiba-tiba,…

“Boni…?”

Setelah tiba di hadapan Boni, akhirnya aku membalikkan badan dan  memilih untuk tidak menemuinya.

Rantai panjang dan besar melilit lehernya. Sesekali ia menghentakkan kakinya dan menarik erat rantai tersebut. Tapi apalah daya, Boni dan kawan-kawannya kembali dikalahkan oleh nasibnya sendiri.

“Pantas Boni tidak gegas dari sini”. erangku

***

 

Bisri, prosais

Anda mungkin juga berminat
Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.