Bengkulu – Memperingati hari bumi pada Rabu (22/4/2020), Yayasan Kanopi Hijau Indonesia meminta pemerintah menutup Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara Bengkulu, lantaran diduga mencemari udara dan tak ramah lingkungan.
Juru Kampanye Energi Yayasan Kanopi Hijau Indonesia Olan Sahayu mengatakan, jika beroperasi PLTU batu bara di Kelurahan Teluk Sepang, Kota Bengkulu membutuhkan sekitar 2.732,4 ton batu bara, untuk dibakar per tahunnya. Sehingga dari pembakaran itu, akan menghasilkan abu sebanyak 39,85 ton per jam, terdiri dari abu terbang (fly ash) 11,23 ton per jam dan abu yang mengendap 25,61 ton per jam.
Apalagi hasil pembakaran itu juga diduga melepaskan bahan berbahaya dan beracun seperti PM2.5, Sox, NOx, serta logam berat mercuri dan arsenic.
“Dampaknya terhadap kesehatan yaitu menyebabkan penyakit-penyakit kronis seperti penyakit pernapasan, asma, stroke, kanker, penyakit jantung dan kematian dini,” jelas Olan dalam keterangan tertulisnya.
Dalam peringatan hari bumi ini, dikatakan, pihaknya bersama para generasi milenial juga mengadakan aksi digital menyampaikan pesan kepada pemimpin negara, politisi dan pengambil kebijakan lainnya, untuk berkomitmen menghentikan penggunaan energi kotor dan beralih ke energi terbarukan, demi generasi yang akan datang, termasuk menutup PLTU batu bara Bengkulu.
Bahkan pesan itu dikirim melalui media sosial kepada Presiden Joko Widodo, Menteri ESDM, Ketua DPR RI dan Menteri LHK mulai dari 20 sampai 22 April, hari ini.
Selain itu, pihaknya juga telah melakukan diskusi online melalui aplikasi zoom dengan tema suara milenial, untuk bumi dan mengajak semua orang bertindak serta bersuara bagi bumi atas krisis iklim yang terjadi.
“Pesan kepada pengambil kebijakan agar segera berhenti kecanduan batu bara dengan menghentikan semua aktivitas yang dilakukan PLTU batu bara Teluk Sepang,” kata Olan.
Kemudian ia menyebut dari Januari 2020 lalu, sudah ada dua indikasi pelanggaran yang dilakukan, yaitu membuang limbah ke laut diduga tanpa izin, dan pengelolaan limbah B3 yang disinyalir sembarangan, berupa tumpahan oli menggenangi kebun petani.
“Sejak 1970, sudah 49 tahun umat manusia memperingati hari bumi untuk penyelamatan lingkungan dari ancaman krisis iklim. Namun bukannya menyelamatkan dan memulihkan, penguasaan dan pengerusakan sumber daya alam semakin hari diduga semakin merajalela,” terangnya.
Disamping itu ditambahkan, ada dua faktor utama penyebab perubahan iklim, adalah pengerukan dan pembakaran batu bara, kebakaran hutan dan pembukaan lahan. Khusus PLTU batu bara, menjadi penyumbang emisi yaitu sebesar 30 persen dari emisi CO2 global.
“Batu bara diangkut menggunakan truk dari tambang ke stockpile yang membuat jalan rusak, intensitas debu batub bara meningkat. Sedangkan di stockpile yang berada di Teluk Sepang, model pengelolaannya yang diduga sembarangan membuat tingkat polusi dan kerusakan lingkungan semakin tinggi,” demikian Olan.