Bengkulu, Intersisinews.com : Badan Pengurus Daerah (BPD) Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Bengkulu bersama Serikat Tani Bengkulu (STaB), serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi, menggelar Rapat Kerja II dengan tema merintis kesejahteraan petani kopi Bengkulu melalui program perhutanan social, bertempat di gedung Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Kota Bengkulu.
Kegiatan ini juga merupakan tindak lanjut Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (POKJA PPS) Bengkulu yang telah berlangsung pada Oktober 2018 lalu, dengan peserta yang berbeda.
Dimana pada gelombang pertama sebelumnya, peserta berasal dari Kabupaten Kaur, Bengkulu Selatan, dan Seluma. Sedangkan kali ini, dari Kabupaten Seluma, Kepahiang, Rejang Lebong dan Bengkulu Utara, yang merupakan Kepala Desa (Kades) dan Perwakilan Kelompok Tani dari 73 desa dari 18 Kecamatan, dibuka langsung oleh Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah.
Kemudian juga dihadiri Kepala DLHK Provinsi Bengkulu Agus Priambudi, serta pemateri seminar tentang Perhutanan Sosial, Hexa Prima Putra, Sekretaris Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Bengkulu, Akademisi Univeristas Bengkulu Siawahyono dan Dr. Suharno, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan KSDA Bengkulu.
Plt Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menjelaskan, hal pertama yang harus dilakukan mengangkat branding yakni, Bencolen Kopi. Setelah itu, baru status lahan, karena diakui banyak persoalan di Hutan Lindung maupun di Hutan Produksi Terbatas (HPT).
Untuk itu, melalui reforma agraria, masyarakat diperbolehkan melaksanakan perhutanan sosial khususnya komoditas kopi. “Kita urus dulu izin perhutanan sosial ini secara kolektif melalui AEKI bersama STAB dan DLHK Provinsi Bengkulu. Persoalan mendasar petani kebun kopi Bengkulu, akan selesai,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua AEKI Bengkulu, Bebby Hussy menyatakan, pihaknya bersama STAB dan DLHK sedang mengupayakan perubahan status kawasan, agar masyarakat petani yang berkebun kopi di kawasan hutan mendapatkan hak mengelola lahan.
Apalagi diketahui produksi kopi terbesar di Bengkulu berada di kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
Bahkan kawasan hutan di Provinsi Bengkulu yang dicadangkan untuk perhutanan sosial seluas 107.254 hektar. Tetapi hingga tahun 2018 ini, capaiannya baru sekitar 50.080 hektar.
“Setelah petani kopi mengantongi izin khusus persoalan infrastrukturnya bisa dibangun dan terjangkau. Lantaran biaya yang harus dikeluarkan petani untuk mengangkut Rp. 500,- sampai Rp. 2.000,- dinilai sangat tinggi. Lalu, baru upaya pencegahan kopi Bengkulu bisa melalui jalur yang sudah ditentukan Pemerintah Daerah, yakni hanya boleh keluar melalui pintu Pelabuhan Pulau Baai, dalam bentuk kebijakan khusus,” katanya.
Selain itu menurutnya, dengan telah resmi beroperasinya pabrik pengolahan kopi oleh AEKI, pihaknya mulai tahun depan ekspor ke luar negeri. “Target ekspor kita kemungkinan ke Amerika dengan tahap awal sebanyak 12.500 ton,” paparnya.
Dibagian lain, Ketua STaB Bengkulu Muspani selaku pihak penggagas mengungkapkan, adanya kebijakan dari Pemerintah berupa program perhutanan sosial, para petani yang selama ini dianggap sebagai perambah hutan, dapat mengajukan permohonan izin mengelola kawasan hutan untuk aktivitas berkebun.
“Dengan pertemuan ini diharapkan, petani mendapatkan perlindungan serta terwujudnya sinergitas dan kerjasama tiga pihak, pemerintah, warga masyarakat dan pengusaha. Artinya pemangku jabatan di Provinsi Bengkulu dapat merangkul petani kopi dan dapat menjalin hubungan yang baik kepada para petani kopi yang ada di daerah Bengkulu,” tukasnya. (red-1)